Merek China Sasar Afrika, Produk Lokal Bakal Terancam

2 hours ago 3

Liputan6.com, Jakarta - Perdagangan bisnis China di Afrika yang dulu didominasi oleh perusahaan milik negara kini semakin bergeser ke arah produk konsumsi dari sektor swasta. Sementara itu, ekonomi Afrika yang tumbuh lebih cepat seperti Kenya, Uganda dan Zambia mencatat laju pertumbuhan tahunan masing‑masing 4,8 %, 6,4 % dan 5,8 %.

Menurut laporan prospek ekonomi International Monetary Fund (IMF), rata‑rata Produk Domestik Bruto (PDB) lebih dari 50 negara di benua tersebut berada di kisaran 4,1 %. Demikian mengutip CNBC, Selasa (25/11/2025). 

Berdasarkan data dari Rhodium Group China Cross-Border Monitor, jumlah investasi China pada sektor padat sumber daya di Afrika telah menurun sekitar 40 % sejak puncaknya pada 2015. Penurunan tersebut dipicu oleh hasil investasi yang melemah dan pendapatan konstruksi yang turun di industri komoditas tradisional.

Di sisi lain, tingkat ekspor China ke Afrika melonjak sekitar 28 % secara YoY selama tiga kuartal pertama 2025, setelah sebelumnya naik 57 % dari periode 2020 hingga 2024. Sebagian besar produk ekspor berupa barang manufaktur bernilai tambah tinggi seperti elektronik, plastik dan tekstil.

"Awalnya, perusahaan China yang masuk berfokus pada sektor infrastruktur dan penambangan mineral,” kata  Ketua McKinsey Greater China, Joe Ngai.

"Dalam beberapa tahun terakhir saya pikir mereka mulai mempertimbangkan tentang pasar konsumen Afrika," ia menambahkan.

Namun, ia memperingatkan, fragmentasi pasar dan margin yang tipis bisa membuat usaha ini menjadi sulit.

Peralihan ini terjadi bersamaan dengan digelarnya KTT G20 pertama di benua tersebut, tepatnya di Afrika Selatan selama akhir pekan. Saat Amerika Serikat hanya mengirim duta besar sementara, Perdana Menteri China Li Qiang memimpin delegasi Beijing dan membuka lebih banyak peluang diskusi bisnis tingkat tinggi.

Afrika jadi Tujuan

Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, ketika banyak orang di China belum terlalu mengetahui aktivitas di Afrika, kini terdapat lebih banyak kunjungan bisnis dan pengiriman karyawan ke luar negeri. “Rasanya semakin terlibat,” ujar pendiri sekaligus konsultan China-Afrika di The Dot Connector, Heather Li.

Ia juga mencatat semakin banyak perusahaan besar di China yang mengirim pimpinan ke Afrika untuk mengeksplorasi peluang pasar yang lebih spesifik. Li menambahkan bahwa kekurangan listrik di Afrika Barat, membuat produk panel surya China diterima dengan baik di wilayah itu. Produk medis serta barang bayi dan barang rumah tangga juga semakin populer di seluruh benua.

Contoh nyata hadir melalui perusahaan seperti Transsion yang sudah membangun bisnis smartphone di Afrika selama bertahun‑tahun, serta Huawei dan Midea yang memperluas kehadirannya di sana.

Pada Juli lalu media negara China melaporkan, Midea Group menandatangani kesepakatan dengan Konfederasi Sepak Bola Afrika yang akan meningkatkan investasi di wilayah tersebut. Perusahaan itu sudah membangun pabrik di Mesir dan memiliki rencana untuk membangun lebih banyak.

Peningkatan Sorotan dari Media Sosial China

Perubahan ini tidak hanya terlihat dari data investasi, tetapi juga dari pengalaman yang dibagikan oleh para pengusaha China di media sosial.

Di platform seperti Xiaohongshu dan Bilibili, unggahan dalam setahun terakhir menggambarkan Afrika sebagai tujuan baru untuk usaha kecil yang fleksibel, mulai dari dropshipping dan e-commerce, hingga manufaktur dan ritel yang terhubung dengan rantai pasokan China.

Seorang pedagang earphone dan kabel data menceritakan pengalamannya pindah dari China ke Nigeria dan mencari mitra bisnis di Afrika, sementara akun lainnya mendokumentasikan perjalanan bisnis bubble tea di Kenya. Unggahan-unggahan tersebut juga menunjukkan para pengusaha yang menjual sandal, barang-barang kecil, furnitur, hingga kuku press-on.

Seorang investor properti asal Nigeria, Joseph Keshi yang berpengalaman bekerja dengan pengusaha China, mengatakan beberapa di antaranya menghasilkan hingga enam digit dolar AS pada tahun pertama mereka.

Meski Li memperingatkan, beberapa orang mungkin melebih-lebihkan di media sosial, ia menekankan paparan ini bisa meningkatkan kesadaran masyarakat China tentang peluang yang ada di Afrika.

Data dari Euromonitor menunjukkan tren ini berkembang dalam skala yang lebih besar, menunjukkan banyaknya usaha China di Afrika yang menjual barang-barang kebutuhan dasar seperti popok, perlengkapan rumah tangga, saus kemasan, dan camilan.

“Dengan populasi yang cepat berkembang, muda, dan semakin terhubung, pengeluaran rumah tangga di seluruh benua ini diperkirakan akan melebihi USD 2 triliun pada 2030,” kata Christy Tawii, manajer riset regional di Euromonitor International.

Pemakaian Yuan China

Ia juga menyebutkan munculnya platform e-commerce seperti Chinese Supermarket, yang membawa merek Asia dan China lebih dekat ke rumah tangga di Afrika.

Banyak pengusaha ini optimistis penggunaan yuan China yang lebih luas di Afrika dapat mengurangi risiko transaksi dan mempererat hubungan perdagangan. Saat ini, yuan China digunakan dalam “30% dari faktur perdagangan,” menurut laporan Rhodium.

Namun, Rhodium Group dan Atlantic Council mengatakan ada “batasan struktural” pada peningkatan penggunaan yuan China, karena surplus perdagangan China dengan sebagian besar mitra Afrika dan ketergantungan global pada dolar AS.

Perangkat Ekspor Murah Ancam Industri Lokal

Meningkatnya minat bisnis konsumen China terhadap Afrika terjadi bersamaan dengan semakin sempitnya margin keuntungan dalam negeri benua tersebut. Hal ini diakibatkan oleh pertumbuhan ekonomi yang melambat dan persaingan yang semakin ketat.

Menjual produk kepada konsumen Afrika juga menjadi lebih menarik bagi perusahaan China, seiring dengan hambatan perdagangan yang mereka hadapi dengan AS dan Eropa. Para analis menggambarkan “skenario stagnasi” di mana ekspor China semakin banyak mengalir ke wilayah seperti Afrika, jika China gagal mengatasi masalah kapasitas berlebih dan menghadapi lebih banyak pembatasan di Eropa.

Afrika Bukan Hanya Pasar Konsumen

Meski impor murah memberi keuntungan bagi konsumen, baik di Afrika maupun di bagian dunia lainnya, lonjakan ekspor dengan harga rendah dapat merugikan industri manufaktur lokal dan memperburuk ketidakseimbangan perdagangan.

"Perlu dilihat bahwa Afrika bukan hanya pasar konsumen, tetapi juga pasar yang memproduksi barang-barang yang akan dikonsumsi di benua itu sendiri,” tegas Ebipere Clark, rekan tamu dan konsultan di African Policy Research Institute.

Beberapa perusahaan China sudah mulai memproduksi barang secara lokal.

"Ada dorongan yang lebih besar untuk industrialisasi di Afrika,” kata Li dari The Dot Connector.

"Saya terlibat dalam beberapa proyek konsultasi untuk menarik industri ringan China untuk memindahkan produksinya ke Afrika, dan mereka juga mendapatkan akses prioritas ke pasar AS dan Eropa.”

Perusahaan perdagangan yang berbasis di Guangzhou, Sunda International, menjual berbagai produk mulai dari alat pertanian hingga barang-barang konsumen sehari-hari, dan mengklaim telah mempercepat pembangunan lebih dari 20 pusat produksi di Afrika selama dekade terakhir.

Sunda dilaporkan menghasilkan hingga USD 450 juta per tahun dengan menyuplai pasar kebutuhan dasar Afrika, seperti popok bayi dan pembalut wanita.

Beberapa pabrik yang tercatat milik Sunda berada di Zambia. Di sana, Perdana Menteri Li minggu lalu menandatangani perjanjian senilai USD 1,4 miliar untuk memodernisasi jalur kereta api yang menghubungkan negara itu dengan Samudra Hindia. Hal ini secara signifikan bertujuan untuk meningkatkan volume angkutan barang.

Read Entire Article
Kaltim | Portal Aceh| | |