Liputan6.com, Jakarta - Di tengah masifnya agenda transisi energi dan dekarbonisasi industri, suara buruh justru masih belum terdengar lantang. Ketua Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI), Elly Rosita Silaban, menilai bahwa kelompok pekerja menjadi pihak paling terdampak, namun paling sedikit dilibatkan dalam perumusan kebijakan nasional terkait iklim dan energi.
“Pemerintah sangat sedikit melibatkan serikat buruh untuk ikut bersama-sama memikirkan, sebenarnya ini dekarbonisasi perlu nggak melibatkan serikat buruh, atau perlu nggak mereka ikut dalam proses ini?” jelas Elly dalam forum Media Luncheon bertema Dekarbonisasi Industri dan Tantangan Buruh dalam Adaptasi Dunia Kerja, yang diselenggarakan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) di Jakarta, dikutip Rabu (23/7/2025).
KSBSI sendiri telah menjadikan isu perubahan iklim dan just energy transition sebagai agenda prioritas sejak beberapa tahun terakhir.
“Fokus kami saat ini, nomor satu sejak beberapa tahun yang lalu adalah di climate change dan just transition, atau just energy transition. Dan kami melakukan beberapa peningkatan kapasitas bagi para pekerja yang masih bekerja saat ini di perusahaan masing-masing,” kata dia.
Meski demikian, ia menyayangkan bahwa hingga saat ini proses penyusunan peta jalan transisi energi masih dilakukan secara top-down, tertutup, dan minim keterlibatan dari kementerian terkait ketenagakerjaan.
“Kami sangat dekat dengan Kementerian Ketenagakerjaan, tapi ternyata Kementerian Ketenagakerjaan tidak terlalu terlibat dalam isu ini.”
Membuka Lapangan Kerja
Pemerintah memang kerap menyebut bahwa transisi energi akan membuka jutaan green jobs. Namun Elly mempertanyakan kejelasan rencana tersebut.
“Kementerian PPN menyebutkan bahwa tahun 2025 kita akan ada kira-kira 4 juta job. Masalahnya kalau kita lihat sekarang, kan banyak juga pengelolaan. Banyaknya job yang diciptakan itu di mana? Dan kemudian siapa yang bisa masuk ke situ? Kemudian di sektor mana? Kemudian di provinsi mana?”
KSBSI, kata Elly, tidak menolak transisi energi. Namun, mereka menuntut keterbukaan informasi dan pelibatan dalam proses perencanaan agar pekerja benar-benar bisa mempersiapkan diri.
“Kami mau membantu misalnya, gitu. Di mana saja, di mana bisa kita akses seperti itu. Tapi, ternyata, itu tidak bisa didapatkan. Jadi akhirnya pemerintah menyebutnya sebagai top-down,” tutudia.