Liputan6.com, Jakarta - Indonesia berkomitmen mencapai Net Zero Emission (NZE) di sektor industri pada 2060 atau lebih cepat. Namun, upaya mencapai target tersebut bukanlah perkara mudah, mengingat ada berbagai hambatan yang masih harus diatasi.
Secara global, sektor industri menyumbang sekitar 34% dari total emisi energi terkait CO₂, atau sekitar 20 GtCO₂-eq. Sementara itu, di tingkat nasional, kontribusi sektor industri terhadap emisi gas rumah kaca (GRK) mencapai 25% pada tahun 2022.
Subsektor besi dan baja menjadi tantangan terbesar, dengan emisi karbon mencapai 3,91 ton CO₂ per ton produksi, nyaris tiga kali lipat dari rata-rata global sebesar 1,51 ton CO₂. Hal ini menjadikan industri besi dan baja sebagai salah satu sektor prioritas dalam strategi dekarbonisasi nasional.
Direktur Eksekutif Asosiasi Industri Besi dan Baja Indonesia Harry Warganegara mengatakan, tantangan tersebut disebabkan oleh metode produksi baja yang masih umum digunakan di Indonesia saat ini.
“Membuat besi baja juga yang sudah menimbulkan karbon yang tinggi,” ujarnya dalam Media Luncheon bertema dekarbonisasi industri dan tantangan buruh dalam adaptasi dunia kerja yang diselenggarakan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) dikutip Rabu (23/7/2025).
Ia menjelaskan bahwa saat ini masih ada dua teknologi utama yang digunakan dalam industri baja, dan salah satunya menghasilkan emisi yang sangat besar.
“Ada dua, yaitu Blast Oxygen Furnace sama Electric Arc Furnace. Jadi ada dua. Apa sih Blast Oxygen Furnace? Itu bikin adonan besi bajanya pakai batu bara, pakai iron ore, dilebur—dibodok, bayangkan. Kemudian teknologinya itu memang kalau dibiarkan begitu saja, polusinya naik ke atas. Beda dengan Electric Arc Furnace, itu kayak kita di hotel bikin air panas pakai pemanas. Jadi dimasukin scrap. Bahannya scrap, jadi bukan iron ore atau batu bara. Scrap, dipanaskan, cair. Nah, jadi ada dua teknologi ini,” jelasnya.
Ada Teknologi Ramah Lingkungan
Teknologi Blast Furnace yang menghasilkan emisi tinggi masih mendominasi proses produksi baja nasional. Padahal, teknologi yang lebih ramah lingkungan seperti Electric Arc Furnace sudah banyak digunakan di negara lain.
“Indonesia itu 70-30. Produksinya, 70 persen masih pakai Blast Furnace. Total produksi baja kita setahun itu sekitar 17 sampai 18 juta metric ton. Bandingkan sama China yang produksinya udah 1 miliar metric ton. Kalau ditanya perbandingan konsumsi antara Electric Arc Furnace dengan Blast Furnace, itu per tonnya 0,1 ton CO₂ dibanding 2,3 ton. Jauh banget bedanya,” ujar Harry.
Selain besi dan baja, pemerintah juga memprioritaskan delapan subsektor industri lainnya dalam upaya dekarbonisasi, yaitu: semen, pupuk, kertas dan pulp, kimia, tekstil, makanan dan minuman, kaca dan keramik, serta alat transportasi.
Kesembilan subsektor ini dinilai sebagai penyumbang emisi tinggi, padat energi, padat karya, atau padat teknologi, sehingga menjadi fokus dalam transformasi menuju industri hijau. Dekarbonisasi pada sektor-sektor tersebut akan menjadi kunci keberhasilan Indonesia dalam menurunkan emisi dan memperkuat daya saing industri nasional di pasar global yang kini semakin menuntut keberlanjutan.
Pilar Utama Dekarbonisasi Sektor Industri
Merespons tantangan tersebut, Institute for Essential Services Reform (IESR) menekankan pentingnya lima pilar utama sebagai fondasi dalam upaya dekarbonisasi sektor industri.
“Apa sih pilar dekarbonisasi? Atau di sini saya sebut sebagai enabler. Ini adalah usaha yang dilakukan untuk bisa melakukan pengurangan emisi, ya. Emisi apa? Emisi gas rumah kaca. Karena kita tahu di sektor industri, produksinya pasti akan menghasilkan emisi gas rumah kaca, baik itu karbon dan lain-lain,” ujar Manager Dekarbonisasi Industri, IESR, Juniko Nur Pratama dalam sesi pemaparannya.
Ia menjelaskan, terdapat lima langkah utama yang perlu dilakukan untuk menurunkan emisi tersebut. “Pertama, dekarbonisasi di sektor ketenagalistrikan. Lalu kedua, substitusi bahan bakar industri dan efisiensi energi. Ketiga, efisiensi sumber daya, lebih ke materialnya. Dan yang kelima, penggunaan teknologi ramah lingkungan dan penangkapan karbon, atau yang kita kenal dengan CCUS,” tambahnya.
“CCU atau CCS itu bergantung dari kita melihat perspektifnya. Cuma, kita ingin bahwa karbon ini setelah ditangkap langsung digunakan, tapi tidak di-storage. Karena ada biaya storage dan biaya implementatif lainnya yang bisa membuatnya lebih mahal,” pungkas Junico.
Jalan menuju Net Zero Emission di sektor industri masih panjang dan penuh tantangan. Namun, dengan adanya peta jalan, teknologi, serta kesadaran yang mulai tumbuh di kalangan pelaku usaha, transformasi ini bukan hal yang mustahil. Pertanyaannya kini bukan lagi apakah industri bisa berubah, melainkan seberapa cepat perubahan itu bisa diwujudkan.