Bisnis Kilang Tak Mati Meski Dunia Berhenti Pakai BBM

2 hours ago 3

Liputan6.com, Jakarta - Industri kilang dinilai tidak akan mati. Anggapan industri kilang akan mati karena transisi menuju energi baru terbarukan (EBT) tidak sesuai dengan fakta global.

Kapasitas kilang dunia justru terus meningkat. Ini diungkapkan PTH Direktur Perencanaan dan Pengembangan Bisnis dan Direktur Manajemen Risiko PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) Prayitno. 

Menurutnya, tren global menunjukkan bahwa di banyak wilayah, khususnya Eropa, penambahan kapasitas kilang terus terjadi.

Hanya saja, orientasi produksi bergeser dari bahan bakar minyak (BBM) ke petrokimia. Sementara di kawasan Asia Pasifik termasuk Indonesia, India, dan China kebutuhan BBM masih mendominasi.

“Artinya bisnis kilang tidak akan selesai. Bahkan kalau dunia berhenti memakai BBM sekalipun, kilang dapat beralih memproduksi petrokimia. Jadi tidak benar bahwa kilang akan berakhir karena transisi energi,” kata Prayitno dalam diskusi Mendorong Pertumbuhan Ekonomi, Hilirisasi, Transisi dan Ketahanan Energi yang digelar E2S, Rabu (19/11/2025).

Prayitno juga menyinggung pentingnya peningkatan fleksibilitas melalui indeks kompleksitas Nelson Complexity Index (NCI). Indonesia saat ini memiliki dua kilang dengan tingkat kompleksitas tertinggi, yaitu Cilacap dan Balongan dengan NCI sekitar 11,7.

Inilah alasan KPI terus mendorong proyek Refinery Development Master Plan (RDMP) sebagai langkah modernisasi. Ia mengakui pembangunan dan revitalisasi kilang membutuhkan investasi besar dan waktu panjang, karena kompleksitas teknisnya jauh di atas industri manufaktur.

Tantangan Harga dan Kebijakan Pemerintah

Prayitno menyebut bahwa KPI berada pada posisi sulit karena kebijakan harga BBM yang ditetapkan pemerintah. Misalnya harga RON 90 yang secara keekonomian seharusnya berada di kisaran Rp 12.000 - Rp 12.500 per liter, namun dijual Rp 10.000.

“Selisih harga yang tinggi ini memberi tekanan pada kas perusahaan. Cashflow sangat penting karena aliran dana kilang menyangkut stabilitas operasional nasional,” ujarnya.

Menurut data KPI, konsumsi BBM nasional kini mencapai sekitar 81 miliar liter per tahun. Dengan disparitas harga yang mencapai Rp2.000 sampai Rp2.500 per liter, selisihnya harus ditutup melalui mekanisme kompensasi pemerintah.

Di sisi lain, Indonesia tidak memiliki strategis petroleum reserve (SPR) seperti Korea Selatan atau Jepang yang mampu menyimpan cadangan energi untuk 3 sampai 6 bulan. Indonesia hanya memiliki stok operasional 20 - 23 hari milik badan usaha. “Dan itu setara dana menganggur sekitar Rp80 triliun untuk pertamina,” tambahnya.

Prayitno menyoroti perbedaan perlakuan pemerintah Indonesia dengan negara lain terhadap perusahaan migas nasional. Menurutnya, Petronas di Malaysia tumbuh lebih cepat karena mendapatkan perhitungan time value of money atas penugasan negara. Sementara Pertamina sering kali dibebani kewajiban tanpa skema kompensasi yang sama.

Bahkan, dari sisi perbankan, pembiayaan proyek kilang juga menghadapi tantangan karena sebagian bank nasional sempat mendeklarasikan tidak ingin lagi membiayai industri fosil.

“Namun demikian KPI tetap mendapat dukungan dari sindikasi perbankan, dan ke depan industri fosil masih memiliki ruang yang kuat,” ujar Prayitno.

Kilang Miliki Dampak Ekonomi Besar

Selain aspek teknis, Executive Director Reforminer Institute Komadi Notonegoro menegaskan bahwa industri kilang memiliki dampak luas bagi perekonomian. Ia menyebut 183 dari 185 sektor ekonomi nasional terkait dengan produk kilang.

“Investasi di kilang memiliki multipier effect 9,6 kali lipat. Artinya, investasi Rp1 triliun di kilang menghasilkan nilai tambah ekonomi hingga Rp9,6 triliun,” ujar Komaidi.

Nilai tambah tersebut hadir dari pergerakan sektor pendukung, industri pengguna, kegiatan daerah, hingga penyerapan tenaga kerja.

Karena itu, Komadi menolak pandangan bahwa pembangunan kilang tidak diperlukan karena produksi minyak Indonesia terus menurun. Menurutnya, lebih baik Indonesia mengimpor minyak mentah daripada impor BBM, karena selisih harga bisa mencapai 15 sampai 20 dolar AS per barel.

“Dengan mengimpor minyak mentah, kita hemat devisa. Negara kita sangat sensitif terhadap perubahan kurs karena 70 persen industrinya bergantung pada komponen impor,” ujarnya.

KPI Jawab Tantangan dengan Hilirisasi, Petrokimia, dan Minyak Jelantah

Dalam sesi tanya jawab, KPI juga memaparkan langkah lanjutan untuk mendukung energi bersih. Salah satunya melalui pemanfaatan minyak jelantah sebagai bahan baku Sustainable Aviation Fuel (SAF).

“Kami sudah uji coba. Unit di Cilacap sudah siap menghasilkan komponen SAF 2,5 persen,” kata Prayitno.

KPI kini mencari mitra penyedia minyak jelantah berkualitas agar pasokannya berkelanjutan.

Untuk pengembangan petrokimia, KPI menyiapkan peningkatan kapasitas propilen dan polipropilen melalui proyek RFCC serta kerja sama dengan Polytama di Balongan. Selain itu, proyek olefin TPPI juga diproyeksikan menjadi tulang punggung produksi petrokimia nasional.

Menjawab isu keselamatan, KPI menegaskan peningkatan aspek Health, Safety, Security, and Environment (HSSE) menjadi prioritas utama. KPI menerapkan Asset Integrity Management System (AIMS), pemasangan detektor gas dan api (FGDS), hingga penangkal petir tambahan di seluruh kilang.

“Aset berusia tua harus dijaga reliabilitasnya. Kita terus meningkatkan instrumentasi untuk mendeteksi dini potensi bahaya,” tegas Prayitno.

Read Entire Article
Kaltim | Portal Aceh| | |