Liputan6.com, Jakarta - Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo Adi menjelaskan soal praktik campur beras yang dilakukan oleh pedagang, menyusul ramainya beras oplosan yang bisa meresahkan masyarakat.
Arief mengatakan, kata "oplos" sering dinilai sebagai tindakan yang negatif. Seperti halnya pengoplosan bahan bakar minyak (BBM).
"Jadi oplos itu biasanya konotasinya negatif. Karena dulu itu istilahnya bahan bakar dioplos sama minyak, dioplos sama solar, maksudnya dioplos sama barang yang lebih murah, kemudian harganya dinaikkan gitu kan," kata Arief ditemui di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Pangan, Jakarta, Selasa (15/7/2025).
Arief mengatakan, praktik mencampur beras biasa dilakukan oleh pedagang. Namun, ada standar kualitas yang dijaga, mengacu pada standar minimal atas kualitas beras premium, misalnya. Kualitas ini bicara soal kadar air hingga jumlah broken.
"Beras premium, produk speknya adalah kadar air 14 persen, broken maksimum 15 persen. Kalau kadar airnya 16 persen boleh enggak? Enggak boleh, karena maksimum 14 persen. Kalau 13 persen boleh enggak kadar airnya? Boleh, kan lebih kering," jelasnya.
"Nah dalam mesin itu, end to end itu, yang dibilang mencampur itu maksudnya ini beras kepala, ini beras patah dicampur, dicampur itu maksudnya itu," sambung Arief.
Tak Boleh Otak-Atik Beras SPHP
Arief menegaskan beras Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) tidak boleh jadi bahan campuran dengan beras lainnya. Apalagi, sudah ada ketetapan rigid mengenai beras atas kuasa Bulog tersebut.
Arief melarang beras SPHP dicampur dan dijual lebih mahal dari harga eceran tertinggi (HET) Rp 12.500 per kilogram.
"Tapi yang enggak boleh itu misalnya beras SPHP harga Rp 12.500, kemudian ini ada beras lain dicampur, terus dijual harganya Rp 14.000. Itu yang enggak boleh maksudnya, karena beras SPHP itu tidak boleh dicampur," tegasnya.
Pedagang Campur Beras
Sebelumnya diberitakan, Ketua Koperasi Pedagang Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC) Zulkifli Rasyid mengungkapkan kerap mencampur beras dengan kualitas atau jenis tertentu sesuai permintaan konsumen. Namun, hal ini dilakukan tidak untuk mengambil keuntungan sesaat.
Zulkifli bilang, praktik mencampur atau oplos beras yang dilakukan bukan untuk menurunkan kualitas antara beras premium dengan beras yang berkualitas lebih rendah. Sehingga, tidak ada niatan untuk mengambil keuntungan pribadi lebih besar.
"Jadi tidak ada keuntungan yang sengaja untuk kita mencari keuntungan, ah biar dapat (margin), enggak gitu," kata Zulkifli saat ditemui Liputan6.com di PIBC, Jakarta, ditulis Selasa (15/7/2025).
Komposisi Beras Campuran
Ada dua hal yang dicari konsumen ketika membeli beras campuran. Pertama, rasa nasi hasil masakan beras tadi sebagai selera pilihan. Untuk mengejar rasa dan tekstur tertentu, pedagang akan mencampur, misalnya beras pandan wangi dan munjul atau rojolele. Pencampuran beras ini tidak serta merta menurunkan kualitas, tapi berhasil menjadikan tekstur nasi menjadi lebih baik.
Kedua, konsumen meminta agar mendapat harga yang cukup kompetitif untuk dijual kembali. Pedagang pasar induk biasanya mencampur beras agar menemukan harga yang sesuai, sehingga keduanya bisa saling untung.
"Jadi berbagai komposisi beras yang dicampur-campur itu tujuannya, ada satu yang mengejar rasa sesuai dengan selera konsumen, ada yang menjangkau sesuai dengan harga yang diinginkan konsumen. Itu luas," tegas dia.