Liputan6.com, Jakarta - Domino’s Pizza Enterprises, pengelola gerai makanan cepat saji Domino’s Pizza telah menutup 312 gerai. Dari jumlah gerai yang ditutup itu, 233 gerai tutup di Jepang.
Penutupan gerai Domino’s itu bukan tanpa alasan. Perseroan menyatakan menutup gerai merupakan keputusan yang sulit dan fokus kembali membangun momentum.
“Di Asia, kami telah mengambil keputusan yang sulit tetapi perlu untuk menutup gerai yang berkinerja buruk dan memfokuskan kembali pada frekuensi dan nilai. Upaya sedang dilakukan untuk kembali membangun momentum,” ujar Executive Chair Jack Cowin seperti dikutip dari laman Yahoo Finance, Rabu (3/9/2025).
Cowin menuturkan, pihaknya fokus pada hal-hal fundamental sambil melakukan perubahan struktural yang diperlukan untuk bersaing dan berkembang dalam lingkungan yang terus berubah.
Mengutip laman Business Times, pada semester pertama tahun fiskal 2025 Domino’s Pizza Enterprises melaporkan rugi bersih 22,2 juta dolar Australia atau sekitar Rp 237,46 miliar (asumsi kurs dolar Australia terhadap rupiah 10.696) dibandingkan periode tahun sebelumnya untuk 58 juta dolar Australia atau Rp 620,33 miliar.
Domino’s Pizza Enterprises mencapai rekor apda 2021 seiring pandemi COVID-19 mendorong permintaan layanan pesan antar.
Tantangan Perseroan
Namun, kinerja anjlok akibat kenaikan biaya, persaingan dari platform pesan antar dan munculnya jaringan restoran seperti Guzman y Gomez, jaringan restoran burrito yang terdaftar di bursa Australia. Selain itu tantangan datang dari tekanan ekspansi secara agresif ke luar negeri.
Dalam pengumuman terbaru kepada Bursa Efek Australia, Domino’s mengatakan kinerja solid di Australia dan beberapa negara Eropa. Hal ini ditunjukkan tanda-tanda perbaikan yang menggembirakan di Jerman dan Asia Tenggara. Namun, hal ini diimbangi oleh kinerja jaringan di Prancis dan Jepang.
Meski demikian, Domino’s mengatakan kepada pemegang saham kalau kemajuan telah dicapai dalam mengidentifikasi dan mewujudkan penghematan biaya dengan inisiatif yang sedang dijalankan untuk kembali investasi dalam pemasaran dan dukungan bagi pemegang waralaba. Ini sekaligus menyederhanakan bisnis lebih lanjut.
“Kami mengambil tindakan untuk menjadikan bisnis Domino’s yang lebih ramping dan efisien,” ujar Cowin.
CEO Mengundurkan Diri
“Itu berarti mengurangi biaya, dan menggunakan penghematan itu untuk mendukung mitra waralaba kami dan berinvestasi dalam pemasaran yang mendorong penjualan,” ia menambahkan.
Cowin menuturkan, pihaknya akan berbagi keuntungan ketika berhasil dengan pelanggan, mitra dan pemegang saham.
Di Australia, bisnis ini terus berkembang, mencapai rekor profitabilitas sekaligus menghasilkan laba waralaba sebelum bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi tertinggi dalam tiga tahun terakhir.
Di tengah kinerja keuangan kurang menggembirakan, CEO dan Direktur Pelaksana Mark van Dyck pada Juli mengumumkan mengundurkan diri dari dewan direksi tepat sebelum Natal.
Van Dyck akan mengundurkan diri pada 23 Desember, setelah baru mengambil alih dari CEO Don Meij yang telah lama menjabat pada November 2024.
Adapun Domino’s akan membayar dividen final kepada pemegang saham sebesar 21,5 sen per saham tanpa pajak.
Cari CEO
Mengutip Business Times, Van Dyck mengatakan, dewan direksi sedang memulai proses pencarian CEO grup baru.Ia juga menuturkan, elemen utama dalam pengurangan biaya adalah departemen TI yang telah menjadi mahal dan tidak lagi memberikan keunggulan kompetitif.
Pemilihan CEO, disamping peran Cowin yang menstabilkan dipandang penting bagi pemulihan perusahaan.
"Pergantian kepemimpinan yang cepat mengaburkan arah, dan pergantian kepemimpinan di ruang rapat dapat mempersulit investor untuk investasi dalam kisah pertumbuhan jangka panjang,” ujar Analis e-Toro Josh Gilbert.
"Jelas, stabilitas dibutuhkan dan hingga saat itu, hal itu memengaruhi kasus investasi," ia menambahkan.
Dalam laporan tahunan Domino’s Pizza yang dirilis Rabu, Cowin kembali melihat lebih dari 50 pengalamannya di industri makanan cepat saji. “Pelanggan masih menginginkan makanan segar, panas dan terjangkau,” kata dia.
"Saya sering ditanya apakah kebiasaan makan konsumen benar-benar berubah. Jawaban saya? Tidak banyak,” ia menambahkan.
"Selera berubah, tren datang dan pergi, tetapi fundamentalnya tetap sama,” kata dia.