Liputan6.com, Jakarta - Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) mengungkapkan, jika anggaran BPOM minim pada 2026 dikhawatirkan produk ilegal semakin merajalela. Hal ini karena pengawasan melemah dan celah produk ilegal terbuka lebar.
Kepala BPOM, Taruna Ikrar menegaskan pemangkasan hingga 87 persen dari target pengawasan akan membuka peluang besar bagi produk obat, makanan, dan kosmetik ilegal beredar di pasaran tanpa kendali.
"Salah satu kunci daripada tugasnya Badan POM itu ya sertifikasi, registrasi, dan sebagainya. Pasti mengalami penurunan. Menjadi tinggal 4.000 kemampuan kami. Berarti mengalami penurunan juga 87 persen," kata Taruna dalam RDP dengan Komisi IX DPR, ditulis Kamis (4/9/2025).
Dia menuturkan, dengan anggaran minim, intensitas pengawasan di lapangan akan menurun tajam. Jumlah sampel yang bisa diperiksa pun anjlok dari puluhan ribu menjadi hanya beberapa ribu.
"Oleh karena itu, kami ingin tunjukkan risiko, dampak dari kalau struktur anggaran seperti ini ada kekhawatiran. Kekhawatiran pertama tentu karena keterbatasan anggaran operasional, badan POM menurun target pengawasannya secara signifikan sebesar 87 persen. Dampaknya sangat besar," ujarnya.
Kekhawatiran BPOM
Hal ini membuat produk berbahaya lebih mudah lolos dari mekanisme kontrol, sementara lembaga kehilangan kapasitas untuk melakukan tindak lanjut secara komprehensif. Oleh karena itu, pihaknya mengusulkan penambahan anggaran tahun 2026 sebesar Rp 2,60 triliun.
"Dampak kalau terjadi penurunan ini, kita tahu kesehatan, risiko masalah kesehatan, tidak ada lagi pengawasan sampel tadi, makanan yang berbahaya dan sebagainya," ujar dia.
Penegakan Hukum Terancam Lumpuh
Selain pengawasan teknis, pemangkasan anggaran juga membuat kinerja penegakan hukum di sektor obat dan makanan terhambat. Deputi Penindakan Badan POM bahkan tidak mendapat alokasi anggaran sama sekali untuk tahun depan. Kondisi ini berarti penindakan terhadap kasus pelanggaran berpotensi lumpuh total.
Penegakan Hukum Sangat Penting
Padahal, menurut Taruna, penegakan hukum sangat krusial untuk memberikan efek jera terhadap pelaku usaha nakal. Tanpa anggaran yang memadai, tindak lanjut laporan masyarakat, penyelesaian berkas perkara, hingga penyidikan kasus tidak dapat dijalankan maksimal. Dari target 182 ribu penyidikan, kemampuan tahun depan hanya sekitar 31 ribu, atau turun 83 persen.
"Tentang perkara di bidang penyidikan. Tadi kan anggarannya zero sama sekali. Jadi anggaran yang tidak ada itu kami masih berupaya dari 182.000 penyidikan menjadi target tahun ini. Tahun depan tinggal 31.000 kemampuan kami. Turun 83 persen," ujarnya.
Stabilitas Industri dan Daya Saing Produk Lokal Terancam
Selain membahayakan kesehatan masyarakat, lemahnya pengawasan dan penegakan hukum juga mengancam stabilitas industri dalam negeri. Produk-produk ilegal yang masuk dengan harga murah akan menciptakan persaingan tidak sehat dengan industri yang patuh aturan.
Pelaku usaha lokal yang berkomitmen pada standar kualitas bisa tersisih karena kalah bersaing dari produk abal-abal. Akibatnya, iklim usaha menjadi tidak kondusif, dan daya saing produk dalam negeri semakin menurun, baik di pasar lokal maupun internasional.
"Intensitas pengawasan dan pendampingan pasti mengendur, perdagangan produk ilegal atau berbahaya pasti meningkat. Ancaman terhadap praktek berusaha yang adil keperlangsungan industri dalam negeri daya saing produk lokal dan stabilitas pasti menurun," pungkasnya.