Liputan6.com, Jakarta - Bank Indonesia (BI) dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sepakat melakukan burden sharing, melalui pembelian surat berharga negara (SBN). Langkah ini ditujukan demi menekan beban fiskal pemerintah sehingga bank sentral turut mendorong pendanaan program ekonomi kerakyatan menjadi lebih terjangkau.
BI dan Kemenkeu juga sepakat membagi beban bunga SBN melalui mekanisme burden sharing, masing-masing menanggung setengah.
“Dengan burden sharing atau pembagian beban bunga yang tentu saja bersama BI dan Kemenkeu, dan karenanya akan mengurangi beban pembiayaan dari program-program untuk ekonomi kerakyatan dalam program Asta Cita,” kata Gubernur BI Perry Warjiyo melansir Antara di Jakarta, Selasa (3/9/2025).
Sebagian dana dari hasil pembelian SBN kemudian dialokasikan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk program ekonomi kerakyatan, seperti perumahan rakyat dan Koperasi Desa Merah Putih.
Perry mencontohkan, untuk pendanaan perumahan rakyat, beban efektif masing-masing pihak sebesar 2,9 persen. Sementara untuk Koperasi Desa Merah Putih, bunga efektifnya 2,15 persen.
Secara sederhana, formula burden sharing dihitung dari bunga SBN 10 tahun dikurangi hasil penempatan pemerintah di perbankan, kemudian sisa bunga dibagi dua.
“Kami terus sinergi. Itu bukti kami sebagai bagian dari NKRI, BI berkomitmen untuk bersinergi dan berkomitmen erat dengan kebijakan pemerintah, mendukung Asta Cita, menjaga stabilitas ekonomi, dan mendorong pertumbuhan ekonomi untuk ekonomi kerakyatan dan juga untuk Indonesia maju,” kata Perry.
Rp 200 Triliun di Pasar Sekunder
Berdasarkan data terkini, Perry menyebutkan bahwa bank sentral telah membeli SBN dari pasar sekunder sekitar Rp200 triliun.
Langkah ini tetap dilakukan secara hati-hati dan prudent karena merupakan bagian dari kebijakan moneter ekspansif yang menambah likuiditas di sistem keuangan.
“Kebijakan moneter kami memang ekspansif, tidak hanya dengan penurunan suku bunga, penambahan likuiditas juga melalui pembelian SBN dari pasar sekunder,” kata Perry.
Sejak September tahun lalu, BI telah menurunkan suku bunga acuan (BI-Rate) sebanyak lima kali dengan penurunan total 1,25 persen atau 125 basis poin (bps), dari 6,25 persen menjadi 5 persen.
Penurunan suku bunga kebijakan ini diikuti oleh turunnya imbal hasil (yield) SBN 10 tahun, yang sempat mencapai 7,26 persen pada Januari 2025 dan kini menjadi sekitar 6,3 persen. Hal ini, ujar Perry, tentunya semakin meringankan beban fiskal pemerintah.
Sri Mulyani Apresiasi Bank Sentral
Pada kesempatan yang sama, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengapresiasi bank sentral karena mekanisme burden sharing memungkinkan dana untuk program seperti Koperasi Merah Putih menjadi lebih murah bagi penerima manfaat.
Sri Mulyani menilai, sinergi semacam ini penting agar BI tetap berperan tidak hanya menjaga stabilitas, tetapi juga mendorong pertumbuhan ekonomi secara proporsional dengan tetap mempertahankan independensi bank sentral.
Kebijakan berbagi beban atau burden sharing ini pernah dilakukan BI saat pandemi COVID-19. Selama tiga tahun pandemi COVID-19 pada 2020-2023, Bank Indonesia telah melakukan burden sharing dengan membeli SBN sebesar Rp 1.104,85 triliun dan menanggung sebagian beban bunganya.
Burden Sharing Dilakukan Sejak COVID-19
Mengutip laman djkn.kemenkeu.go.id, Pemerintah bersama Bank Indonesia menetapkan mekanisme burden sharing dalam melaksanakan penanganan COVID-19 dan pemulihan ekonomi nasional.
Hal itu dituangkan dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Kedua antara Menteri Keuangan (Menkeu) dan Gubernur BI dan Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara Direktur Jenderal Penglolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan dan Deputi Gubernur BI.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menuturkan, dalam menghadapi pandemi Covid-19, Pemerintah telah melakukan langkah-langkah penanganan terhadap seluruh sektor kehidupan masyarakat yang mencakup bidang kesehatan, perlindungan sosial, dan dukungan bagi dunia usaha.
Untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional itu, Pemerintah telah meningkatkan APBN melalui Perpres 72 Tahun 2020, dari semula sebesar Rp307,22 triliun menjadi Rp1.039,22 triliun atau defisit sebesar 6,34% dari GDP (Produk Domestik Bruto).
Pemerintah, menurut dia, memahami kenaikan defisit yang luar biasa meningkat akibat dampak Covid-19 dan penanganannya tentu menciptakan suatu tekanan yang sangat besar di dalam fiskal, di sisi lain kondisi market atau pasar surat berharga baik di global maupun domestik juga terkadang mengalami gejolak akibat adanya Covid-19 ini.
"Oleh karena itu bersama-bersama dengan Bank Indonesia dan dukungan politik dari Presiden dan kabinet serta DPR menyepakati agar ada suatu mekanisme burden sharing yang dapat dipertanggungjawabkan secara baik, baik dari sisi kebijakan ekonomi makro-nya yaitu kebjakan fiskal moneter maupun dari sisi mekanisme yang bisa dipertanggungjawabkan melalui market dan acceptable secara politik,” ujar dia.
Jaga Keberlangsungan Fiskal
Prinsip burden sharing yang dituangkan dalam SKB ini, menurut Sri Mulyani, adalah tetap menjaga keberlangsungan fiskal, menjaga fiscal space dan sustainability dalam jangka menengah, menjaga kualitas defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang ditujukan untuk belanja yang produktif dan mendukung penurunan defisit APBN secara bertahap menjadi di bawah 3% mulai tahun 2023. Selain itu, implementasi burden sharing juga dilakukan dengan menjaga stabilitas nilai tukar, suku bunga, dan inflasi agar tetap terkendali.
"Dan seluruh burden sharing ini kita lakukan dengan memperhatikan kredibilitas dan integritas dari pengelolaan fiskal, moneter dan pengelolaan perekonomian secara keseluruhan,” ujarnya. Pengaturan skema burden sharing dalam SKB Kedua ini hanya berlaku untuk pembiayaan APBN Tahun 2020.
Sri Mulyani menuturkan, skema burden sharing didasarkan pada kelompok penggunaan pembiayaan untuk public goods/benefit dan non-public goods/benefit. Pembiayaan public goods yang menyangkut hajat hidup orang banyak, terdiri dari pembiayaan di bidang kesehatan, perlindungan sosial, serta sektoral kementerian/lembaga (K/L) dan Pemerintah Daerah.
Mekanisme Kebijakan Burden Sharing
Sedangkan pembiayaan untuk non-public goods yang menyangkut upaya pemulihan ekonomi dan dunia usaha, terdiri dari pembiayaan untuk usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM), korporasi non-UMKM, dan non-public goods lainnya.
Untuk pembiayaan public goods, menurut dia, beban akan ditanggung seluruhnya oleh BI melalui pembelian Surat Berharga Negara (SBN) dengan mekanisme private placement dengan tingkat kupon sebesar BI reverse repo rate, di mana BI akan mengembalikan bunga/imbalan yang diterima kepada Pemerintah secara penuh.
Sementara itu, pembiayaan non-public goods untuk UMKM dan Korporasi non-UMKM, akan ditanggung oleh Pemerintah melalui penjualan SBN kepada market dan BI berkontribusi sebesar selisih bunga pasar (market rate) dengan BI reverse repo rate 3 bulan dikurangi 1%.
Sementara itu, untuk pembiayaan non-public goods lainnya, beban akan ditanggung seluruhnya oleh Pemerintah sebesar market rate. Dengan demikian, pembiayaan non-public-goods tetap dilakukan melalui mekanisme pasar (market mechanism) dan BI bertindak sebagai standby buyer/last resort sesuai SKB Pertama tanggal 16 April 2020.