Liputan6.com, Jakarta - Ekonom CELIOS, Nailul Huda, menilai gelombang demonstrasi yang meluas beberapa hari terakhir tidak hanya berdampak pada aktivitas ekonomi, tetapi juga berpotensi menggerus penerimaan pajak negara.
Dia menuturkan, sektor pajak akan terpukul karena melemahnya aktivitas usaha akibat demo berkepanjangan. Dunia usaha yang menurun secara langsung akan mempersempit basis pajak yang bisa dipungut pemerintah.
"Penerimaan perpajakan pasti akan berkurang. Ada dua faktor utama, yaitu faktor lesunya ekonomi akibat demo yang tidak kunjung selesai dan kepercayaan masyarakat akan institusi perpajakan akan merosot," kata Nailul Huda kepada Liputan6.com, Selasa, 2 September 2025.
Huda menuturkan, lesunya ekonomi membuat banyak perusahaan menahan produksi, mengurangi jam kerja, bahkan melakukan PHK. Kondisi ini menekan omzet dan laba perusahaan, yang otomatis akan menurunkan setoran pajak. Sementara dari sisi konsumsi, daya beli masyarakat yang melemah juga akan menurunkan penerimaan pajak pertambahan nilai (PPN).
"Ekonomi kita pasti akan terganggu. Orang akan menahan konsumsi akibat ekonomi di masa mendatang semakin tidak pasti. Kepatuhan pajak akan menurun drastis," ujarnya.
Artikel Gelombang Demo Ancam Kepatuhan Pajak dan Penerimaan Negara menyita perhatian pembaca di Liputan6.com. Ingin tahu artikel terpopuler lainnya di Kanal Bisnis Liputan6.com? Berikut tiga artikel terpopuler di Kanal Bisnis Liputan6.com yang dirangkum pada Rabu, (3/9/2025):
1.Gelombang Demo Ancam Kepatuhan Pajak dan Penerimaan Negara
Ekonom CELIOS, Nailul Huda, menilai gelombang demonstrasi yang meluas beberapa hari terakhir tidak hanya berdampak pada aktivitas ekonomi, tetapi juga berpotensi menggerus penerimaan pajak negara.
Dia menuturkan, sektor pajak akan terpukul karena melemahnya aktivitas usaha akibat demo berkepanjangan. Dunia usaha yang menurun secara langsung akan mempersempit basis pajak yang bisa dipungut pemerintah.
"Penerimaan perpajakan pasti akan berkurang. Ada dua faktor utama, yaitu faktor lesunya ekonomi akibat demo yang tidak kunjung selesai dan kepercayaan masyarakat akan institusi perpajakan akan merosot," kata Nailul Huda kepada Liputan6.com, Selasa, 2 September 2025.
Huda menuturkan, lesunya ekonomi membuat banyak perusahaan menahan produksi, mengurangi jam kerja, bahkan melakukan PHK. Kondisi ini menekan omzet dan laba perusahaan, yang otomatis akan menurunkan setoran pajak. Sementara dari sisi konsumsi, daya beli masyarakat yang melemah juga akan menurunkan penerimaan pajak pertambahan nilai (PPN).
"Ekonomi kita pasti akan terganggu. Orang akan menahan konsumsi akibat ekonomi di masa mendatang semakin tidak pasti. Kepatuhan pajak akan menurun drastis," ujarnya.
2. WFH Pekerja Jakarta Berlaku Sampai Kapan? Cek Sini
Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Energi (Disnakertransgi) DKI Jakarta menerbitkan Surat Edaran Nomor e-0014/SE/2025 tentang himbauan bekerja dari rumah (work from home/WFH).
Staf Khusus Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta Bidang Komunikasi Publik, Cyril Raoul Hakim alias Chico Hakim saat dikonfirmasi di Jakarta, Minggu, mengatakan, imbauan work from home bagi perusahaan di Jakarta ini bersifat situasional.
“Perihal imbauan WFH untuk perusahaan-perusahaan di Jakarta, terutama yang lokasinya berdekatan dari dampak penyampaian aspirasi massa, itu bersifat situasional dan tidak wajib,” katanya dikutip dari Antara, Selasa (2/9/2025).
Chico mengatakan, penerapan kebijakan WFH menyesuaikan dari kebutuhan perusahaan masing-masing.
Selain itu, dalam surat edaran tersebut juga tertulis bagi perusahaan yang sifat dan jenis pekerjaannya dilakukan terus menerus (24 jam) atau memberikan pelayanan langsung terhadap masyarakat, dapat dikombinasikan antara WFH dan bekerja dari kantor.
3. 1 dari 3 Pekerja Berbohong di Resume, Pakar HR Ungkap Tanda-Tandanya
Di tengah pasar kerja yang semakin kompetitif, banyak pencari kerja merasa tertekan untuk tampil sempurna di hadapan perekrut. Sebuah laporan terbaru dari FlexJobs mengungkap bahwa 1 dari 3 pekerja mengaku pernah berbohong di resume mereka.
Dikutip dari CNBC, Selasa (2/9/2025), bentuk kebohongan ini bervariasi, mulai dari menutupi kekurangan pengalaman hingga berpura-pura antusias demi terlihat lebih meyakinkan.
Pakar SDM, Hebba Youssef, mengungkapkan bahwa tren ini makin marak, terutama karena dorongan di media sosial yang menganjurkan kandidat untuk “berbohong saja” agar bisa mendapatkan pekerjaan.
Menurutnya, keputusasaan tersebut bisa dipahami. “Dunia ini terlalu mahal bagi kita untuk tidak memiliki pekerjaan,” ujarnya.