Rupiah Tembus 13.000 per Dolar Singapura, Analis Beberkan Penyebabnya

22 hours ago 10

Liputan6.com, Jakarta - Rupiah kembali menorehkan rekor terendah sepanjang masa terhadap dolar Singapura (SGD). Berdasarkan data dari Google Finance, pada perdagangan Kamis (25/9/2025), rupiah tercatat sempat melemah 0,56% ke posisi Rp 13.002 per SGD. Angka tersebut menjadi level terlemah dalam sejarah pergerakan rupiah.

Research & Education Coordinator Valbury Asia Futures, Nanang Wahyudin, menilai pelemahan ini terutama dipicu oleh penguatan dolar Singapura yang kerap dipandang sebagai mata uang aman di kawasan regional.

"Perlu diketahui pelemahan rupiah kali ini karena memang faktor utama dari penguatan dolar Singapura, sebagai mata uang yang memiliki prediksi safe haven di kawasan regional dan keterkaitan dengan dolar Amerika,” ujar dia kepada Liputan6.com, Kamis (25/9/2025).

Menurut Nanang, situasi global yang penuh ketidakpastian turut memberi tekanan. Ia menyoroti prospek pemangkasan suku bunga The Federal Reserve (the Fed) atau bank sentral Amerika Serikat (AS) akibat data ekonomi AS, khususnya data tenaga kerja, yang masih lemah.

“Ketika ketidakpastian global meningkat, seperti pelemahan dolar dampak atas prospek pengurangan suku bunga The Fed, karena serangkaian data ekonomi yang kurang baik, terutama data tenaga kerja membuat ruang pelemahan dolar bisa berlanjut hingga akhir tahun karena mulainya sikap dovish The Fed,” ungkapnya.

Ada Outflow di Pasar Domestik

Ia menambahkan, kondisi outflow di pasar domestik juga memperparah pelemahan rupiah. “Inilah yang memicu investor memburu dolar Singapura sebagai mata uang aman di kawasan regional. 

Selain itu, kondisi outflow di Indonesia baik dari pasar domestik ketika aksi net sell atas transaksi SBN dan ekuitas, dengan total 8,5 triliun rupiah menjadi pemicu lemahnya rupiah,” ujarnya.

Nanang juga mengingatkan kebijakan dalam negeri, termasuk langkah Bank Indonesia memangkas suku bunga acuan, memberi tekanan tambahan terhadap rupiah. Ia memaparkan, tren pelemahan rupiah ini sudah berlangsung sejak pascapandemi COVID-19. 

Pergerakan Rupiah

Pada 2021, rupiah sempat tembus Rp 10.500 per SGD, kemudian melemah ke Rp 11.500 pada 2022–2023, berlanjut Rp 11.700 pada 2024, hingga menembus Rp 12.200 pada Februari dan Rp 12.850 pada April 2025, sebelum mencapai level terlemah saat ini.

“Lalu apakah pelemahan ini akan terus berlangsung lama atau tentatif, itu semua tergantung pelaksana kebijakan atau otoritas di Indonesia, disiplin atas kebijakan baik fiskal dan moneter. Melalui intervensi oleh BI di pasar mata uang dengan menjual cadangan dolar dan membeli rupiah,” ujar Nanang. Ia menambahkan, dalam jangka pendek rupiah diperkirakan bergerak di rentang Rp 12.800–Rp 13.300 per SGD.

Sementara itu, Presiden Direktur PT Doo Financial Futures, Ariston Tjendra, menilai pelemahan rupiah juga dipengaruhi kebijakan likuiditas dalam negeri.

“Saya pikir ini ada kaitannya dengan pelonggaran likuiditas yang dilakukan pemerintah dan BI yang menyebabkan imbal hasil aset rupiah seperti obligasi menurun sehingga daya tarik asset rupiah melemah,” ujarnya.

Ariston menegaskan, rupiah tidak hanya melemah terhadap dolar Singapura, tetapi juga terhadap berbagai mata uang utama lainnya.

Rupiah Terkapar ke 16.749 per Dolar AS

Sebelumnya, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kembali melemah pada perdagangan Kamis (25/9/2025). Analis Bank Woori Saudara, Rully Nova, menilai pelemahan ini salah satunya dipengaruhi oleh disiplin fiskal pemerintah di tengah belanja negara yang ekspansif.

“Belanja ekspansif pemerintah akan dibiayai lebih dominan dengan utang di tengah minat asing terhadap obligasi negara yang turun,” ujarnya di Jakarta.

Pada penutupan perdagangan, rupiah melemah 65 poin atau 0,02 persen menjadi Rp 16.749 per dolar AS dibandingkan sebelumnya Rp 16.684 per dolar AS. Sementara itu, kurs JISDOR Bank Indonesia juga melemah ke level Rp16.752 per dolar AS dari posisi sebelumnya Rp16.680 per dolar AS.

Menurut Rully, kepemilikan asing terhadap obligasi negara kini turun drastis. Jika dulu sempat mendekati 40 persen, saat ini berada di bawah 20 persen. Kondisi ini membuat Bank Indonesia terpaksa melakukan burden sharing dengan menyerap obligasi negara, yang berisiko memicu inflasi lebih tinggi.

“Pembiayaan dari pajak juga melemah, terindikasi dari tax ratio di bawah 10 persen, karena penerimaan terbesar berasal dari pajak penghasilan industri pengolahan yang di dalamnya ada buruh sebagai pajak penghasilan per orang,” jelasnya.

Read Entire Article
Kaltim | Portal Aceh| | |