Liputan6.com, Jakarta - Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada Minggu, 22 Juni 2025 mengonfirmasi militer AS telah meluncurkan serangan udara ke tiga situs nuklir utama Iran: Fordow, Natanz, dan Esfahan. Serangan ini menjadi babak baru dalam ketegangan di Timur Tengah, setelah Israel menggempur Iran selama sepekan dalam Operasi Rising Lion.
"Langkah ini menjadi babak baru dalam agresi militer terhadap Republik Islam Iran, yang sebelumnya sudah diserang Israel selama sepekan penuh dalam Operasi Rising Lion," kata Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, dikutip Liputan6.com dalam keterangannya, Senin (23/6/2025).
Dia menuturkan, keterlibatan langsung AS ini menandai eskalasi besar dalam konflik, yang bukan lagi terbatas pada perang proksi, melainkan aksi militer terbuka antara kekuatan global dan kawasan. Situasi ini memantik kekhawatiran terhadap dampak ekonomi dan geopolitik yang luas, dari lonjakan harga minyak hingga potensi konflik regional berkepanjangan.
"Konflik bersenjata antara AS, Israel, dan Iran akan mengakibatkan lebih dari sekadar korban jiwa dan reruntuhan," ujarnya.
Harga Minyak Melejit, Ancaman Resesi Global Mengintai
Achmad menuturkan, dampak langsung dari serangan ini adalah lonjakan tajam harga minyak dunia. Sebab Iran merupakan produsen minyak terbesar keempat di OPEC serta pengontrol Selat Hormuz, jalur vital tempat 20% pasokan minyak global mengalir.
"Dampak paling langsung adalah melonjaknya harga minyak dunia. Iran adalah produsen minyak terbesar keempat OPEC dan penjaga jalur kritis: Selat Hormuz. Sekitar 20% suplai minyak global melewati selat ini," ujarnya.
Timur Tengah Memanas, Risiko Perang Regional Meluas
Bahkan sejak kabar serangan dikonfirmasi, harga minyak mentah dunia langsung melonjak dari USD 78 ke USD 80 per barel. Jika ketegangan terus meningkat, harganya bisa menembus USD 110 dalam satu minggu ke depan. Apabila Iran memutuskan menutup total Selat Hormuz, harga bisa melonjak ke level ekstrem USD 150–170 per barel.
"Efek domino dari ini sangat luas, yakni inflasi global, biaya logistik yang membengkak, tekanan fiskal bagi negara berkembang, dan tentu saja, ancaman resesi," ujarnya.
Keterlibatan militer langsung Amerika Serikat memicu reaksi berantai dari kelompok-kelompok militan yang menjadi sekutu Iran. Kelompok Houthi di Yaman telah mengancam akan menyerang kapal perang AS di Laut Merah.
Di sisi lain, Hizbullah di Lebanon diperkirakan akan meningkatkan serangan ke wilayah utara Israel, sementara milisi Syiah di Irak, Suriah, dan Afghanistan bisa melakukan serangan balasan terhadap kepentingan AS dan Israel. "Dengan kata lain, kita tidak lagi bicara tentang perang bilateral, tapi potensi perang regional penuh. Timur Tengah bisa berubah menjadi ladang api tak terkendali," pungkasnya.
Harga Minyak Dunia
Sebelumnya, harga minyak berjangka melonjak lebih dari 2% pada awal sesi perdagangan pertama sejak Amerika Serikat (AS) melancarkan serangan langsung terhadap Iran. Hal itu membayangi prospek pasokan di kawasan Timur Tengah yang kaya minyak.
Mengutip CNBC, Senin (23/6/2025), harga minyak mentah AS pada Minggu malam waktu setempat naik USD 1,76 atau 2,38% menjadi USD 75,60 per barel. Sedangkan harga minyak Brent bertambah USD 1,8 atau 2,34% menjadi USD 78,81 per barel. Harga minyak Brent telah naik 5,7% hingga menembus posisi USD 81 sebelum melemah.
Pada Sabtu pekan lalu, Presiden AS Donald Trump mengejutkan pasar dengan pengumuman Washington secara langsung memasuki konflik Iran-Israel, melancarkan serangan terhadap tiga lokasi nuklir Iran di Fordo, Natanz dan Isfahan.
S&P Global Platts menyatakan, investor sekarang melihat bagaimana Iran akan menanggapi serangan AS yang belum pernah terjadi sebelumnya. Menteri luar negeri Iran mengatakan pada Minggu, Ira memiliki "semua opsi" untuk mempertahankan kedaulatannya. Kenaikan awal harga minyak dapat mereda jika Iran tidak menanggapi.
Selat Hormuz
Skenario terburuk untuk pasar minyak adalah upaya Iran untuk menutup Selat Hormuz, menurut analis energi. Sekitar 20 juta barel minyak mentah per hari, atau 20% dari konsumsi global, mengalir melalui selat tersebut pada tahun 2024, menurut Badan Informasi Energi.
Media pemerintah Iran melaporkan parlemen Iran telah mendukung penutupan selat tersebut, mengutip seorang anggota parlemen senior. Namun, keputusan akhir untuk menutup selat tersebut berada di tangan dewan keamanan nasional Iran, menurut laporan tersebut.
Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio telah memperingatkan Iran agar tidak mencoba menutup selat tersebut. “Itu akan menjadi "bunuh diri ekonomi" bagi Republik Islam tersebut karena ekspor mereka melewati jalur air tersebut,” ujar kata Rubio.
"Kami memiliki opsi untuk mengatasinya," kata Rubio kepada Fox News dalam sebuah wawancara pada Minggu.
"Hal itu akan jauh lebih merugikan ekonomi negara lain daripada ekonomi kita. Menurut saya, itu akan menjadi eskalasi besar-besaran yang akan membutuhkan respons, tidak hanya dari kita, tetapi juga dari negara lain.”
Iran memproduksi 3,3 juta barel minyak per hari pada Mei, menurut laporan pasar minyak bulanan OPEC yang dirilis pada Juni, yang mengutip sumber analis independen. Iran mengekspor 1,84 juta barel minyak per hari bulan lalu, dengan sebagian besar dijual ke China, menurut data dari Kpler.
Rubio meminta China untuk menggunakan pengaruhnya guna mencegah Teheran menutup selat tersebut. Sekitar setengah dari impor minyak mentah China melalui perairan berasal dari Teluk Persia, menurut Kpler.
"Saya mendorong pemerintah China di Beijing untuk menghubungi mereka mengenai hal itu, karena mereka sangat bergantung pada Selat Hormuz untuk minyak mereka,” kata Rubio.