Liputan6.com, Jakarta Ketegangan geopolitik yang kian memanas hingga potensi terjadinya perang dunia III pecah akibat serangan Amerika Serikat terhadap Iran dinilai akan membawa dampak signifikan terhadap perekonomian global dan regional. Hal apa yang sebaiknya dilakukan masyarakat di tengah kondisi seperti ini?
Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, mengimbau masyarakat untuk tetap waspada dan bijak dalam mengelola keuangan. Menurutnya, situasi global saat ini menimbulkan ketidakpastian yang tinggi dan dapat memicu gejolak di berbagai sektor, termasuk sektor keuangan dan energi.
"Melakukan yang terbaik di bidang masing-masing untuk tetap produktif secara ekonomi," kata Wijayanto Samirin kepada Liputan6.com, Senin (23/6/2025).
Ia menekankan pentingnya kehati-hatian dalam mengambil keputusan keuangan, terutama dalam investasi berisiko tinggi dan pinjaman dengan bunga besar. Selain itu, Wijayanto mendorong masyarakat untuk mengembangkan semangat kewirausahaan agar tetap dapat menciptakan peluang di tengah tantangan ekonomi.
"Berhati-hati melakukan investasi berisiko dan melakukan pinjaman dengan bunga tinggi. Dorong semangat entrepreneurship, karena peluang luas justru ada di sana," ujarnya.
Menurut Wijayanto, meski tekanan geopolitik meningkat, masyarakat tetap dapat bertahan dan berkembang jika mampu mengelola risiko dengan bijak dan tetap fokus pada produktivitas di bidang masing-masing.
Dampak Ekonomi Jika Perang Dunia Terjadi
Adapun jika perang dunia ketiga benar-benar terjadi, menurut Wijayanto akan sangat berdampak buruk untuk berbagai aspek, terutama ekonomi. Menurutnya, jika risiko global meningkat, sektor keuangan bergejolak, harga energi melejit dan inflasi naik.
Ia menambahkan dalam situasi seperti ini, para investor cenderung menahan diri, perdagangan global akan menurun, dan pertumbuhan ekonomi dunia semakin melambat. Selain itu, harga minyak dan komoditas energi lainnya diperkirakan akan meningkat, sementara harga komoditas non-energi justru bisa menurun.
"Harga minyak dan komoditas energi akan meningkat (batubara, Gas, CPO), tetapi komoditas non energi (mineral/tambang) justru berpotensi turun, karena demand turun," ujar Wijayanto.
Menurutnya, meski ada potensi eskalasi konflik, ia tidak yakin situasi ini akan memicu Perang Dunia ke-3. Namun demikian, ketidakpastian dan dampak ekonomi dari ketegangan ini tetap harus diwaspadai, terutama bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Selat Hormuz Ditutup Imbas AS Serang Iran, Ini Dampaknya bagi Indonesia
Ketegangan geopolitik di Timur Tengah kembali memuncak setelah parlemen Iran memutuskan menutup Selat Hormuz, jalur vital bagi hampir seperlima perdagangan minyak global.
Keputusan ini disampaikan anggota senior parlemen Iran, Esmaeil Kowsari, Minggu (22/6), sebagai bentuk respons terhadap serangan militer Amerika Serikat (AS) dan sikap diam komunitas internasional.
Pengamat Ekonomi Energi dari Universitas Padjadjaran, Yayan Satyakti, menyebut dampak paling nyata akan dirasakan negara-negara di kawasan Asia, khususnya Asia Tenggara termasuk Indonesia.
“Saya kira yang akan terimbas itu justru Singapura ya, kemudian Indonesia atau wilayah Asia Tenggara dan juga Tiongkok,” kata Yayan kepada Liputan6.com, Senin (23/6/2025).
Sebaliknya, negara-negara Eropa dan India kemungkinan tidak akan terlalu terpengaruh karena mereka memiliki alternatif pasokan.
“Kalau misalkan untuk wilayah Eropa dan kemudian misalkan seperti India ya, mungkin bisa dari Rusia lewat darat dan kalau Uni Eropa mungkin bisa menggunakan minyak dari Amerika Serikat dan beberapa negara lain,” ujarnya.
Butuh Gencatan Senjata untuk Redam Harga Minyak
Yayan menambahkan, untuk mencegah lonjakan harga minyak yang lebih drastis, diperlukan langkah diplomasi segera.
“Untuk menstabilkan eskalasi dari kenaikan harga minyak ini, ya mungkin harus diajukan yaitu adanya gencatan senjata dan perdamaian antara Iran, Amerika Serikat, kemudian Israel,” ujarnya.
Menurutnya, ketiga negara ini memang harus segera didamaikan, sehingga akan menciptakan stabilisasi pasar. Jika produksi minyak Iran menurun akibat eskalasi ini, Yayan memperkirakan negara-negara OPEC seperti Saudi Arabia dan Uni Emirat Arab akan meningkatkan produksinya guna menjaga keseimbangan suplai global.