Liputan6.com, Jakarta - Goldman Sachs menandai risiko terhadap pasokan energi global di tengah kekhawatiran atas potensi gangguan di Selat Hormuz yang akan menyebabkan lonjakan signifikan harga minyak dan gas alam.
Mengutip Yahoo Finance, Goldman Sachs memprediksi harga minyak Brent dapat mencapai puncaknya pada USD 110 per barel jika pasokan minyak melalui Selat Hormuz dikurangi setengahnya selama sebulan dan tetap turun sebesar 10% selama 11 bulan berikutnya.
Kemudian ada harga minyak akan turun. Rata-rata harga minyak Brent sekitar USD 95 per barel pada kuartal IV 2025. Sebelumnya, jarga minyak melambung ke level tertinggi pada Senin, 23 Juni 2025 sejak Januari setelah Washington bergabung dengan Israel selama akhir pekan saat menyerang fasilitas nuklir Iran.
Goldman menyoroti prediksi pasar, meskipun likuiditas terbatas, kini mencerminkan probabilitas 52% Iran menutup Selat Hormuz pada 2025, mengutip data dari Polymarket.
Selain itu, disebutkan penurunan pasokan Iran sebesar 1,75 juta barel per hari dapat mendorong harga minyak mentah Brent ke puncak sekitar USD 90 per barel.
Dalam satu skenario, bank tersebut mengatakan penurunan pasokan minyak Iran sebesar 1,75 juta barel per hari (bpd) selama enam bulan, diikuti oleh pemulihan bertahap, dapat mendorong harga minyak mentah Brent ke puncaknya pada USD 90 per barel sebelum jatuh ke USSD 60-an pada 2026.
Upaya AS dan China
Goldman Sachs menyebutkan, pada sub-skenario kedua, produksi Iran tetap rendah, harga minyak Brent masih dapat mencapai puncaknya pada USD 90, tetapi stabil antara USD 70-USD 80 pada 2026 karena berkurangnya persediaan dan kapasitas cadangan global.
“Meskipun peristiwa di Timur Tengah masih belum pasti, kami pikir insentif ekonomi, termasuk bagi AS dan China untuk mencoba mencegah gangguan yang berkelanjutan dan sangat besar di Selat Hormuz akan kuat,” kata Goldman Sachs.
Dewan Keamanan Nasional Tertinggi Iran harus membuat keputusan akhir tentang apakah akan menutup Selat Hormuz setelah serangan bom AS, Press TV Iran mengatakan pada hari Minggu, setelah parlemen dilaporkan mendukung tindakan tersebut.
Goldman Sachs juga memproyeksikan pasar gas alam Eropa, termasuk patokan TTF, akan memperhitungkan kemungkinan gangguan yang lebih tinggi, dengan TTF berpotensi naik mendekati 74 euro per megawatt-jam (USD 25/MMBtu).
Namun, bank tersebut mencatat harga gas alam AS akan menghadapi dampak terbatas karena faktor struktural seperti kapasitas ekspor yang kuat dan kebutuhan impor LNG domestik yang minimal.
Harga Minyak Sempat Naik Usai AS Serang Fasilitas Nuklir Iran
Sebelumnya, harga minyak berjangka melonjak lebih dari 2% pada awal sesi perdagangan pertama sejak Amerika Serikat (AS) melancarkan serangan langsung terhadap Iran. Hal itu membayangi prospek pasokan di kawasan Timur Tengah yang kaya minyak.
Mengutip CNBC, Senin (23/6/2025), harga minyak mentah AS pada Minggu malam waktu setempat naik USD 1,76 atau 2,38% menjadi USD 75,60 per barel. Sedangkan harga minyak Brent bertambah USD 1,8 atau 2,34% menjadi USD 78,81 per barel. Harga minyak Brent telah naik 5,7% hingga menembus posisi USD 81 sebelum melemah.
Pada Sabtu pekan lalu, Presiden AS Donald Trump mengejutkan pasar dengan pengumuman Washington secara langsung memasuki konflik Iran-Israel, melancarkan serangan terhadap tiga lokasi nuklir Iran di Fordo, Natanz dan Isfahan.
S&P Global Platts menyatakan, investor sekarang melihat bagaimana Iran akan menanggapi serangan AS yang belum pernah terjadi sebelumnya. Menteri luar negeri Iran mengatakan pada Minggu, Iran memiliki "semua opsi" untuk mempertahankan kedaulatannya. Kenaikan awal harga minyak dapat mereda jika Iran tidak menanggapi.
Selat Hormuz
Skenario terburuk untuk pasar minyak adalah upaya Iran untuk menutup Selat Hormuz, menurut analis energi. Sekitar 20 juta barel minyak mentah per hari, atau 20% dari konsumsi global, mengalir melalui selat tersebut pada tahun 2024, menurut Badan Informasi Energi.
Media pemerintah Iran melaporkan parlemen Iran telah mendukung penutupan selat tersebut, mengutip seorang anggota parlemen senior. Namun, keputusan akhir untuk menutup selat tersebut berada di tangan dewan keamanan nasional Iran, menurut laporan tersebut.
Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio telah memperingatkan Iran agar tidak mencoba menutup selat tersebut. “Itu akan menjadi "bunuh diri ekonomi" bagi Republik Islam tersebut karena ekspor mereka melewati jalur air tersebut,” ujar kata Rubio.
"Kami memiliki opsi untuk mengatasinya," kata Rubio kepada Fox News dalam sebuah wawancara pada Minggu.
"Hal itu akan jauh lebih merugikan ekonomi negara lain daripada ekonomi kita. Menurut saya, itu akan menjadi eskalasi besar-besaran yang akan membutuhkan respons, tidak hanya dari kita, tetapi juga dari negara lain.”
Produksi Minyak Iran
Iran memproduksi 3,3 juta barel minyak per hari pada Mei, menurut laporan pasar minyak bulanan OPEC yang dirilis pada Juni, yang mengutip sumber analis independen. Iran mengekspor 1,84 juta barel minyak per hari bulan lalu, dengan sebagian besar dijual ke China, menurut data dari Kpler.
Rubio meminta China untuk menggunakan pengaruhnya guna mencegah Teheran menutup selat tersebut. Sekitar setengah dari impor minyak mentah China melalui perairan berasal dari Teluk Persia, menurut Kpler.
"Saya mendorong pemerintah China di Beijing untuk menghubungi mereka mengenai hal itu, karena mereka sangat bergantung pada Selat Hormuz untuk minyak mereka,” kata Rubio.
Investor juga mencermati kemungkinan terjadinya destabilisasi lebih lanjut terhadap rezim Iran sebagai akibat dari permusuhan AS-Israel, mengingat contoh dampak jangka panjang dari penggulingan Muammar Gaddafi yang dipimpin NATO pada tahun 2011 terhadap pasokan Libya.
Ketegangan Regional
Ketegangan juga meningkat di negara tetangga Irak, produsen OPEC terbesar kedua, tempat milisi pro-Teheran sebelumnya mengancam Washington, jika negara itu menargetkan pemimpin tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei.
Pada Minggu, Garda Revolusi Iran memperingatkan "pangkalan AS di wilayah tersebut bukanlah kekuatan mereka, melainkan kerentanan terbesar mereka" tanpa menyebutkan lokasi tertentu, demikian dikutip CNBC dari kantor berita Iran Fars.
Hubungan diplomatik yang baru terbentuk, tetapi bangkit kembali antara mantan rival Iran dan Arab Saudi sementara itu dapat meredakan kemungkinan gangguan dalam pasokan eksportir minyak mentah terbesar di dunia.
"Kerajaan Arab Saudi mengikuti dengan penuh kekhawatiran perkembangan di Republik Islam Iran, khususnya penargetan fasilitas nuklir Iran oleh Amerika Serikat,” kata kementerian luar negeri Saudi pada hari Minggu. Riyadh, sekutu dekat AS di Timur Tengah, telah membatasi keterlibatannya dalam serangan Iran-Israel.
Kembali pada 2019, empat tahun sebelum melanjutkan hubungan diplomatik dengan Iran, fasilitas instalasi minyak Arab Saudi di Abqaiq dan Khurais mengalami kerusakan selama serangan yang diklaim oleh Houthi, tetapi Riyadh dan AS mengatakan Iran bertanggung jawab atas hal tersebut. Teheran membantah terlibat.
Saat dimulainya kembali serangan Israel-Iran minggu lalu, kepala Badan Energi Internasional Fatih Birol mengatakan lembaga tersebut memantau perkembangan dan bahwa “pasar dipasok dengan baik hari ini tetapi kami siap bertindak jika diperlukan,” dengan 1,2 miliar barel stok darurat dalam keadaan siaga.