Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah pada perdagangan Kamis (28/8/2025) ditutup menguat tipis sebesar 15 poin ke level Rp 16.352 per dolar AS. Sebelumnya rupiah sempat tertekan hingga melemah 8 poin, sebelum akhirnya bangkit dari penutupan sebelumnya di Rp 16.368 per dolar AS.
Pengamat Mata Uang dan Komoditas, Ibrahim Assuaibi, memproyeksikan rupiah tak bisa mempertahankan penbguatan sebelumnya pada perdagangan hari ini Jumat, 29 Agustus 2025. "Mata uang rupiah fluktuatif namun ditutup melemah di rentang Rp 16.340 - Rp 16.400," kata Ibrahim dalam keterangannya, Jumat (29/8/2025).
Penguatan rupiah yang terjadi Kamis (28/8/2025) kemarin belum cukup kuat untuk menahan tekanan eksternal yang masih mendominasi pasar keuangan global.
Ibrahim menilai, pergerakan rupiah disebut masih sangat dipengaruhi oleh kombinasi faktor internal dan eksternal. Sentimen positif sempat muncul dari stabilitas aksi demonstrasi ribuan buruh dan mahasiswa yang berjalan kondusif, sehingga tidak menimbulkan gejolak di pasar keuangan domestik.
"Pasar merespons positif terhadap aksi demontrasi ribuan buruh serta mahasiswa dari pelbagai Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) tumpah ke jalan terpusat di gerbang utama Gedung DPR/MPR RI Jakarta," ujarnya.
Tekanan Eksternal Masih Berat
Adapun kata Ibrahim, tekanan kuat terhadap rupiah salah satunya datang dari dinamika perdagangan global. Pasar mencermati langkah New Delhi yang mendapat tekanan dari Washington untuk mengurangi impor minyak Rusia, menyusul keputusan Presiden AS Donald Trump menggandakan tarif impor dari India hingga 50%. Kebijakan ini dinilai bisa memperlebar ketidakpastian pada perdagangan Asia.
Selain itu, meningkatnya pasokan energi global juga turut membebani harga komoditas. Produsen minyak utama memutuskan mengurangi sebagian pemotongan sukarela produksi, yang membuat pasokan melimpah dan berpotensi menekan harga. Kondisi ini bisa memengaruhi neraca perdagangan negara berkembang, termasuk Indonesia.
"Yang juga membebani pasar adalah meningkatnya pasokan yang masuk ke pasar karena produsen-produsen besar telah menghapus beberapa pemotongan sukarela, yang mengimbangi beberapa faktor pendukung, termasuk fakta bahwa Rusia dan Ukraina telah meningkatkan serangan terhadap infrastruktur energi masing-masing," ujarnya.
Pengaruh The Fed
Selain isu perdagangan dan geopolitik, pasar juga tengah menyoroti arah kebijakan moneter Amerika Serikat. Ketua Federal Reserve (The Fed), Jerome Powell, dalam simposium Jackson Hole mengisyaratkan kondisi ekonomi AS mungkin sudah layak untuk pemangkasan suku bunga. Sinyal dovish ini memberi sedikit harapan bagi mata uang negara berkembang, termasuk rupiah.
"Pesan dovish Ketua Fed Jerome Powell di Jackson Hole, yang mengisyaratkan bahwa kondisi ekonomi AS saat ini "mungkin membenarkan" penurunan suku bunga, memperkuat ekspektasi akan pelonggaran kebijakan moneter di masa mendatang," ujarnya.
Namun, ketidakpastian masih menyelimuti keputusan tersebut. Presiden Bank Sentral Federal New York, John Williams, menegaskan bahwa pemangkasan suku bunga hanya bisa diputuskan setelah melihat data ekonomi terbaru. The Fed baru akan menggelar rapat penting pada 16 - 17 September mendatang.