Upah Minimum UMP 2026 Batal Diumumkan 21 November Besok, Menaker Bongkar Alasannya

4 days ago 24

Liputan6.com, Jakarta Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) menyatakan tengah menyusun konsep pengupahan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2026 yang besarannya tidak satu angka seperti tahun lalu, serta tidak diumumkan besok, 21 November sebagaimana amanat PP 36/2021.

Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Yassierli menyampaikan, dalam menyusun konsep ini, pihaknya menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 168 Tahun 2023 secara menyeluruh yang mempertimbangkan kebutuhan hidup layak dalam penetapan upah.

"Di situ ada amanat terkait dengan, misalnya bagaimana upah itu mempertimbangkan kebutuhan hidup layak. Sehingga kita membentuk tim untuk merumuskan, dan menghitung, mengestimasi kira-kira kebutuhan hidup layak itu berapa," ucapnya.

Menaker juga mengungkapkan bahwa pemerintah menyadari masih terdapat disparitas upah minimum antarwilayah, baik antarkota, kabupaten, maupun provinsi.

Perbedaan kondisi dan pertumbuhan ekonomi tiap daerah membuat pemerintah menyusun konsep baru agar kenaikan upah tidak lagi ditetapkan dalam satu angka yang nantinya aturan tersebut akan ditetapkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP).

"Kita sedang menyusun konsep bahwa kenaikan upah itu bukan satu angka. Jadi kalau ada berita naiknya sekian, itu berarti kita tidak ke sana. Tapi juga seperti apa, mohon maaf, ini juga masih dalam proses menyusun," katanya.

Menurutnya, daerah yang memiliki pertumbuhan ekonomi lebih tinggi berpeluang menetapkan kenaikan upah yang juga lebih tinggi dibandingkan daerah lain.

Disparitas UMP

Menaker menambahkan bahwa karena beleid yang disiapkan berupa PP, penetapan tidak terikat pada batas waktu yang sebelumnya diatur dalam peraturan terkait dengan tenggat waktu pada 21 November.

"Artinya kita tidak terikat dengan tanggal yang ada pada PP 36 (2021)," ucapnya lagi.

Pemerintah, lanjutnya, ingin memastikan seluruh proses penyusunan kebijakan terselesaikan dengan baik, termasuk penetapan kebutuhan hidup layak, pemberian kewenangan kepada Dewan Pengupahan, serta penanganan persoalan disparitas UMP.

Ia menekankan bahwa dokumen tersebut masih berupa draft dan bukan keputusan final.

Sementara itu, Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (PHI dan Jamsos) Kemnaker Indah Anggoro Putri menyampaikan dalam penetapan UMP tahun depan, variabel penghitungan yang digunakan tetap sama, namun variabel alfa diperluas.

"Variabel-variabel dalam rumus sama, hanya saja sekali lagi kata MK alfanya yang harus ada adjustment sedikit. Apa adjustment-nya? Yaitu pemerintah harus mempertimbangkan kehidupan hidup layak," katanya ditemui usai acara Lapor Menaker.

Kenaikan Upah Minimum 2026 Tak Jelas, Siapa Dirugikan?

Sebelumnya, Anggota Komisi IX DPR Edy Wuryanto menyoroti keterlambatan pemerintah dalam menyiapkan dasar hukum kenaikan Upah Minimum (UM) 2026 adalah bentuk kelalaian serius.

Sebab keterlambatan tersebut langsung berdampak pada rakyat pekerja dan dunia usaha. Hingga memasuki tenggat penetapan UM sesuai amanat PP 36/2021, Kementerian Ketenagakerjaan belum menentukan bentuk regulasi yang akan digunakan. 

Edy mengingatkan, PP 36/2021 sudah mengunci kewajiban gubernur untuk menetapkan UM provinsi paling lambat 21 November. Lalu UM kabupaten/kota paling lambat 1 Desember.

“Jika regulasinya saja tidak disiapkan, bagaimana mungkin kepala daerah bisa bekerja sesuai mandat? Pemerintah pusat tidak boleh menjadi sumber kekacauan,” kata Edy dalam keterangannya, Rabu (19/11/2025).

Ia menilai pemerintah seperti mengulang pola buruk tahun lalu, ketika Presiden tiba-tiba mengumumkan kenaikan UM 2025 sebesar 6,5 persen tanpa proses regulatif yang transparan, lalu Menaker menerbitkan Permenaker yang hanya mengikuti angka tersebut.

“Upah itu bukan angka yang turun dari podium lalu disulap jadi kebijakan. Negara ini punya hukum. Penetapan UM tidak boleh bertumpu pada pernyataan,” ujar Edy.

Pengumuman Dadakan Rugikan Pekerja di Daerah

Politisi PDI Perjuangan itu menekankan bahwa negara harus menunjukkan keseriusan dengan memastikan regulasi hadir sebelum kebijakan diumumkan, bukan setelahnya.

Menurut Edy, pemberlakuan angka kenaikan tunggal seperti 6,5 persen pada tahun lalu sudah terbukti merugikan pekerja di daerah dengan pertumbuhan ekonomi tinggi. Dia mencontohkan Maluku Utara yang memiliki pertumbuhan ekonomi menonjol hingga 34,58 persen pada triwulan I 2025. 

“Bagaimana mungkin pekerja di daerah dengan lonjakan ekonomi setinggi itu disamakan begitu saja dengan provinsi lain? Kalau pemerintah bicara keadilan, mestinya berangkat dari data, bukan dari angka seragam,” ujarnya.

Read Entire Article
Kaltim | Portal Aceh| | |