Apindo: Biaya Jalankan Usaha di Indonesia Mahal

6 hours ago 7

Liputan6.com, Jakarta Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani menilai biaya untuk menjalankan usaha di Indonesia terbilang mahal. Salah satunya imbas dari biaya logistik yang jauh di atas negara lain.

Dia mengatakan, biaya-biaya yang timbul dalam kegiatan usaha di Tanah Air menjadikan Indonesia sebagai 'hogh-cost economy'. Kondisi ini pula yang membuat Indonesia kalah saing dengan negara tetangga di mata investor.

"Saya cuma mau bandingkan, biaya logistik itu mencapai 23% dari GDP, padahal yang namanya Malaysia itu cuma 13%, China cuma 16%. Harga listrik untuk industri, ini juga Indonesia ini 32% lebih tinggi dari seperti China," kata Shinta dalam Indonesia Economic Outlook 2026, di Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Senin (24/11/2025).

Data yang dikantonginya mencatat, biaya pinjaman di Indonesia berada di kisaran 8-14%, jauh di atas rata-rata negara ASEAN dengan 4-6%. Biaya listrik industri sebesar USD 0,099/kWh, lebih tinggi 32 persen dari Vietnam dengan USD 0,075/kWh.

Biaya tenaga kerja juga jadi sorotan pengusaha. Dalam kurun waktu 2014-2025, biaya upah misalnya, naik 177 persen, pertumbuhan ekonomi (produk domestik bruto/PDB) naik 147 persen, dan inflasi naik 138 persen.

"Jadi ini hal-hal biaya-biaya yang harus diperhatikan karena kita masih dianggap sebagai high cost economy," tandasnya.

Alasan Investor Lari ke Vietnam

Diberitakan sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Kamdani mengungkap alasan investasi lebih memilih Vietnam Cs ketimbang Indonesia. Salah satunya mengenai kemudahan berusaha di Tanah Air, seperti regulasi yang berbelit.

Shinta menyoroti regulasi yang berubah-ubah hingga waktu yang diperlukan terlalu panjang sehingga membuat pengusaha kesulitan masuk Indonesia. Dengan demikian, banyak investor memilih destinasi negara lain.

"Jadi ini kita belum bisa kompetitif dibandingkan negara-negara tetangga. Sementara kalau kita dengar Vietnam, wah berlomba-lomba investasi masuk ke Vietnam. Jadi kita selalu pakai Vietnam jadi benchmark di Indonesia. Kenapa mereka datang ke Vietnam, dan kurang datang ke Indonesia?," kata Shinta dalam Indonesia Economic Outlook 2026, di Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Senin (24/11/2025).

Inkonsistenti Regulasi

Mengutip data Bank Dunia, Shinta menyebut Indonesia ada di posisi 31 dari 50 negara dalam kategori kemudahan berusaha. Indonesia ada di bawah Singapura, Vietnam, dan Filipina.

"Tentunya kalau kita lihat, selalu kita mengatakan inkonsistensi regulasi. Jadi kadang-kadang regulasi itu berubah-ubah sekali, sehingga sulit kita mengimplementasikannya," tutur dia.

Dia membandingkan, di negara terbaik untuk memulai usaha hanya memerlukan satu hari, sedangkan Indonesia butuh 65 hari. "Ini juga transfer property, yang terbaik satu hari, Indonesia 90 hari. Penyelesaian sengketa hukum Indonesia sampai 150 hari," beber dia.

Keluhan Pengusaha

Shinta menuturkan pula telah melakukan survey kepada para pengusaha. Aspek regulasi tetap menjadi perhatian bagi pengusaha untuk mengembangkan usahanya.

"Kendala yang paling sering disebut adalah persyaratan dokumen yang sangat banyak, kebutuhan menggunakan juga konsultan, kemudian rekomendasi kendala sistem, dan lain-lainnya," ucap dia.

"Jadi ini saya rasa hal-hal yang perlu menjadi perhatian untuk doing business di Indonesia," sambung Shinta.

Read Entire Article
Kaltim | Portal Aceh| | |