Liputan6.com, Jakarta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengumumkan bahwa penyusunan dokumen Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034 telah tuntas. Hal ini disampaikan oleh Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Jisman P. Hutajulu.
RUPTL terbaru tersebut akan menjadi panduan penyediaan listrik nasional selama satu dekade ke depan dan disusun mengacu pada Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) yang menargetkan transisi energi hingga 2060.
Kementerian ESDM sebelumnya menargetkan penyusunan RUPTL rampung pada April 2025. Dalam prosesnya, pemerintah berupaya menyeimbangkan antara tuntutan penurunan emisi karbon dan kapasitas nasional, dengan mengoptimalkan potensi energi domestik—terutama dari sumber Energi Baru dan Terbarukan (EBT).
IIF Sambut Positif Arah Kebijakan Transisi Energi
Chief Investment Officer PT Indonesia Infrastructure Finance (IIF), M. Ramadhan Harahap atau Idhan, menyambut rampungnya RUPTL sebagai kabar baik bagi sektor EBT.
Menurutnya, arah kebijakan dalam RUPTL sangat mendukung perluasan penggunaan energi ramah lingkungan dan membuka ruang bagi pengembangan proyek-proyek berbasis EBT.
"Kebijakan ini juga mencerminkan komitmen Indonesia dalam mengurangi emisi karbon serta mendukung agenda global terkait energi berkelanjutan," paparnya, Senin (5/5/2025).
IIF Siap Dukung Pembiayaan dan Pendampingan Proyek EBTI
Idhan menegaskan bahwa IIF memiliki posisi strategis dalam mendukung implementasi proyek-proyek EBT di Tanah Air.
Sebagai lembaga pembiayaan infrastruktur, IIF mampu menyediakan model pendanaan yang sesuai dengan kebutuhan proyek EBT, seperti tenor panjang dan struktur keuangan yang fleksibel.
Tak hanya menawarkan pembiayaan, IIF juga menyediakan layanan konsultasi dan pendampingan teknis sejak tahap perencanaan hingga proyek beroperasi.
Dengan pendekatan ini, IIF berupaya meningkatkan keberhasilan dan kelayakan proyek-proyek energi terbarukan di Indonesia.
Masih Terbuka Peluang Investasi di 333 GW Proyek EBT Indonesia
Indonesia berkomitmen untuk mencapai net zero emission (NZE) pada 2060 atau lebih cepat. Pada 2022, Indonesia menyepakati Just Energy Transition Partnership (JETP) senilai USD 20 miliar, yang salah satu targetnya puncak emisi 290 juta ton CO2 dan bauran energi terbarukan 34 persen pada tahun 2030.
Komitmen ini mencerminkan peluang investasi besar untuk mempercepat transisi energi. Ketersediaan data proyek energi terbarukan, perencanaan, dan informasi pelelangan menjadi faktor kunci dalam menarik investasi bersih.
Institute for Essential Services Reform (IESR) mendorong ketersediaan data potensi proyek energi terbarukan sehingga dapat memantik penurunan emisi yang signifikan.
Manajer Program Transformasi Sistem Energi IESR, Deon Arinaldo, menuturkan bahwa meskipun potensi teknis energi terbarukan Indonesia mencapai lebih dari 3.700 GW, pemanfaatannya, terutama PLTS dan PLTB masih jauh dari optimal.
Melalui kajiannya terbaru, Unlocking Indonesia’s Renewable Future, IESR menganalisa potensi proyek energi terbarukan berdasar regulasi tarif yang berlaku saat ini, seperti Perpres No. 112/2022 serta ketersediaan infrastruktur jaringan listrik seperti gardu induk dan transmisi.
“Melihat potensi ini, tentu saja ada kontradiksi dengan realitas pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia. Namun, temuan ini menunjukkan bahwa kita bisa bergerak lebih cepat dalam memanfaatkan energi terbarukan ini, khususnya PLTS dan PLTB,” jelas Deon dalam Diskusi bersama media berjudul Editorial Forum: Meningkatkan Optimisme PLTS dan PLTB Sebagai Tulang Punggung Transisi Energi di Indonesia pada Selasa (25/3/2025).
Kajian ini mengidentifikasi potensi pengembangan proyek energi terbarukan hingga 333 GW, yang dapat dipasok oleh PLTS, PLTB dan PLTM.