Liputan6.com, Nusa Dua - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan tantangan besar masih membayangi industri asuransi nasional, salah satunya adalah protection gap atau kesenjangan pelindungan proteksi.
Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun OJK Ogi Prastomiyono menekankan pentingnya optimalisasi sektor asuransi sebagai alat manajemen risiko yang dapat mengurangi dampak ekonomi akibat risiko yang tidak terlindungi secara finansial.
"Sektor perasuransian harus dioptimalkan sebagai tool manajemen risiko, terutama dalam hal menutup protection gap yang masih lebar di Indonesia,” kata Ogi, dalam sambutannya di acara Indonesia Insurance Summit 2025, di Nusa Dua, Bali, Kamis (22/5/2025).
Ia juga menjelaskan konsep protection gap telah menjadi isu global yang sering dibahas dalam berbagai forum internasional, termasuk di International Association of Insurance Supervisors (IAIS).
Protection gap, secara sederhana menggambarkan potensi kerugian ekonomi yang tidak tertutup karena belum adanya skema asuransi yang memadai.
Mengacu pada kajian dari Global Asia Insurance Partnership Guide, ada 5 jenis protection gap utama yang perlu segera ditangani yaitu bencana alam (natural catastrophe), kematian (mortality), risiko siber, kesehatan, dan tabungan pensiun.
“Artinya, hanya sebagian kecil masyarakat yang saat ini memiliki akses terhadap pelindungan atas risiko-risiko tersebut,” ujar Ogi.
Hasil Studi
Studi Global Asia Insurance Partnership pada 2022, juga menunjukkan kesenjangan perlindungan di kawasan Asia-Pasifik, termasuk Indonesia diperkirakan mencapai USD 886 miliar (sekitar Rp 14.000 triliun), yang menandai peningkatan 38% dalam lima tahun dan mencakup setengah dari kesenjangan perlindungan global.
Untuk itu, Ogi mendorong sektor perasuransian Indonesia agar lebih aktif dalam merancang strategi dan inovasi produk yang dapat menjangkau lebih banyak lapisan masyarakat. Menurutnya, inovasi tidak hanya diperlukan dalam hal produk, tetapi juga dalam distribusi, edukasi, dan pemanfaatan teknologi untuk memperluas jangkauan.
OJK: Asuransi Harus Jadi Pilar Utama Ketahanan Nasional
Sebelumnya, Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Ogi Prastomiyono, menyerukan perubahan paradigma besar terhadap posisi industri asuransi dalam sistem keuangan nasional.
Ia menegaskan asuransi tidak bisa lagi hanya dipandang sebagai pelengkap sektor keuangan, melainkan harus diakui sebagai pilar utama ketahanan nasional.
Di tengah era yang penuh ketidakpastian dan risiko yang semakin kompleks, Ogi menekankan industri asuransi memiliki peran strategis dalam memastikan Indonesia yang tangguh, inklusif, dan berdaya saing.
Ogi juga menambahkan peran asuransi seharusnya setara dengan perbankan dan kebijakan fiskal dalam menjaga kestabilan sistem keuangan.
“Di era risiko yang semakin kompleks, asuransi seharusnya menjadi pilar utama ketahanan nasional, berdampingan dengan sistem perbankan, fiskal, dan ekosistem keuangan lainnya,” kata Ogi dalam sambutannya di acara Indonesia Insurance Summit, di Nusa Dua, Bali, Kamis (22/5/2025).
Lebih lanjut, Ogi menuturkan, kontribusi sektor perasuransian terhadap PDB Indonesia masih elative rendah dibandingkan dengan negara-negara lain. Hingga akhir 2024, rasio aset industri asuransi terhadap PDB kita baru mencapai 5,12 persen. Angka ini menjaminkan masih terdapat ruang pertumbuhan bagi industri perasuransian yang sangat besar.
Transformasi Sektor Perasuransian di Indonesia
Pada kesempatan yang sama, Ogi menguraikan 5 faktor pembeda utama di sektor perasuransian di Indonesia pada masa kini dengan era-era sebelumnya, terutama pasca pandemi COVID-19.
Pertama, meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap risiko khususnya kesehatan. Kedua, ekspektasi konsumen yang kini menuntut layanan yang cepat, mudah, dan transparan.
Ketiga, adopsi teknologi yang masif dalam merancang, mendistribusikan, dan melayani produk asuransi. Keempat, komitmen global terhadap keuangan berkelanjutan. Kemudian kelima, perubahan regulasi besar seperti implementasi Undang-Undang P2SK.
“Ke depan sektor perasuransian harus bertransformasi secara progresif dan terukur melalui inovasi produk dan layanan yang mudah dipahami dan berorientasi pada konsumen,” jelas Ogi.
Menurut Ogi, proses transformasi ini bukan hanya soal teknologi, tetapi juga perubahan pola pikir dalam merancang model bisnis, memperbaiki distribusi, dan meningkatkan nilai tambah layanan bagi konsumen.
Salah satu tantangan utama adalah rendahnya literasi asuransi, di mana sebagian besar masyarakat masih menganggap asuransi sebagai beban atau kewajiban, bukan sebagai kebutuhan dasar.
“Asuransi masih dinilai oleh masyarakat merupakan suatu kewajiban, bukan sebagai kebutuhan. Nah ini yang mesti kita ubah secara bersama-sama,” tambahnya.