Liputan6.com, Jakarta - Kepala Pusat Ekonomi Digital dan UMKM INDEF, Izzudin Al Farras mengungkapkan, alokasi anggaran Makan Bergizi Gratis (MBG) di RAPBN 2026 mencapai hampir 10% dari total belanja negara. Nilai itu diperkirakan menembus Rp 335 triliun, angka yang dinilai sangat besar untuk satu program.
Menurut Farras, beban fiskal tersebut berpotensi mengorbankan alokasi anggaran untuk sektor penting lainnya. Ia menilai, program ini tidak hanya menyedot dana dari fungsi pendidikan, tetapi juga berdampak pada porsi anggaran kesehatan, koperasi desa, dan UMKM.
"Secara kasar, program MBG saja hampir memakan anggaran 10% dari RAPBN 2026, tidak hanya Rp 335 triliun saja, tapi juga ada pada fungsi anggaran kesehatan, ada anggaran kooperasi desa dan UMKM," kata Izzudin dalam Diskusi Publik INDEF: Menakar RAPBN 2026, Kamis (4/9/2025).
Menurut dia, besarnya anggaran yang digelontorkan pemerintah untuk program MBG membuat publik mempertanyakan efektivitas program tersebut. Lantaran, dalam delapan bulan pelaksanaan awal, justru banyak masalah yang terjadi, mulai dari kasus keracunan massal hingga lemahnya pengawasan tata kelola.
Program MBG Dinilai Seharusnya Bertahap
"Penting bagi Pemerintah melaksanakan program MBG secara bertahap, sehingga dapat memudahkan proses monitoring dan evaluasi program secara berkala, yang mana tadi itu tidak terjadi dalam 8 bulan terakhir, korban berjatuhan begitu saja, tata kelola buruk," ujarnya.
Ia menekankan pentingnya efisiensi dalam penggunaan APBN. Dia menilai, pemerintah seharusnya lebih selektif dalam menentukan prioritas belanja negara.
Pelaksanaan MBG Harus Realistis
Ia menambahkan, program MBG sebenarnya memiliki tujuan mulia untuk meningkatkan gizi anak sekolah, namun pelaksanaannya harus realistis. Jika program dipaksakan dalam skala nasional tanpa uji coba terbatas, maka risiko kebocoran anggaran maupun kegagalan implementasi semakin besar.
Karena itu, INDEF menilai bahwa pemerintah perlu meninjau ulang skema yang dipilih, termasuk mempertimbangkan model yang lebih efektif dan berbiaya lebih rendah, seperti yang telah diterapkan di Brazil.
"Jadi, ini sudah ada best practice-nya, nilai bahwa skema yang kita lakukan dengan India ini belum berhasil, kita perlu exercise dengan pelibatan masyarakat yang lebih masif melalui percontohan atau skema yang telah dilaksanakan di Brazil," ujarnya.
Skema Bertahap Sebagai Jalan Tengah
Untuk menghindari tekanan fiskal berlebihan, Izzudin merekomendasikan agar pemerintah menerapkan program MBG secara bertahap.
Dia menuturkan, pelaksanaan terbatas di sejumlah daerah terlebih dahulu akan memudahkan evaluasi sekaligus mengurangi beban anggaran. Selain itu, implementasi bertahap memungkinkan pemerintah mengukur efektivitas program dalam berbagai kondisi geografis dan sosial di Indonesia. Hasil dari tahap awal bisa menjadi dasar perbaikan sebelum program diperluas ke tingkat nasional.
"Dengan demikian, maka tadi dengan pelaksanaan secara bertahap dan cakupannya yang lebih kecil terlebih dahulu, skema yang diperbaiki, itu tentu ada beberapa implikasi yang kita harapkan bisa terjadi di tahun 2026 mendatang yang pertama terkait anggaran, kapasitas fiskal tidak tertekan, hanya untuk memenuhi nafsu pada satu program MBG saja," pungkasnya.