Penyerapan Tembakau Petani Berpotensi Makin Menyusut, Ini Penyebabnya

6 hours ago 4

Liputan6.com, Jakarta Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 (PP 28/2024) berpotensi memberikan tekanan terhadap berbagai sektor, termasuk industri hasil tembakau. Penyerapan hasil panen tembakau pun turut terancam dan membuat para petani menjerit.

Sejumlah pasal dalam PP 28/2024, seperti pembatasan kandungan gula, garam, lemak (GGL) serta pembatasan zona penjualan dan iklan rokok, dapat mengganggu keberlangsungan industri, ekonomi, hingga lapangan pekerjaan.

Ketua Umum Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA), Yadi Sofyan Noor, menyoroti kerugian yang akan dihadapi industri hasil tembakau akibat PP 28/2024. Ia mengatakan, kebijakan tersebut berpotensi menurunkan pendapatan industri tembakau dan menyebabkan efek negatif berantai hingga ke petani.

“Efeknya akan mengurangi serapan tembakau, karena pabrik akan menurunkan produksinya. Tindakan ini dapat disebut sebagai upaya yang merugikan para petani tembakau, mirip dengan kebijakan kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) sebelumnya. Kenaikan tarif CHT maupun aturan-aturan restriktif seperti ini memberikan efek merugikan ke petani,” ungkapnya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis (1/5/2025). 

Yadi menjelaskan bahwa industri hasil tembakau adalah satu-satunya penyerap hasil panen tembakau petani dalam jumlah besar. Setiap petani tembakau biasanya memiliki hubungan dengan pabrik, sehingga mendapatkan informasi tentang kapasitas penyerapan tembakau. Ketika kebijakan tidak tepat sasaran diterapkan, penjualan rokok bisa menurun, berdampak langsung pada penyerapan tembakau petani.

"Ini akan berdampak pada perekonomian secara keseluruhan. Petani berada di hulu, perusahaan di hilir, dan ini pasti berimbas juga," jelasnya.

Yadi menambahkan bahwa industri hasil tembakau memiliki ruang lingkup yang luas dan saling berkaitan. Regulasi yang dikeluarkan akan saling memberikan dampak satu sama lain. "Kebijakan ini terlihat tidak menyasar petani, melainkan produsen. Namun, efeknya akan dirasakan oleh petani tembakau. Pemerintah harus mempertimbangkan dampak luas dari kebijakan tersebut, bukan hanya fokus pada regulasinya," tambahnya.

Kesejahteraan Petani Tembakau

Kondisi ini mengkhawatirkan bagi kesejahteraan petani tembakau yang selama ini menjadi penopang perekonomian nasional. Menanam tembakau bagi beberapa daerah menjadi mata pencaharian yang menguntungkan dan mendukung penghidupan petani. Menurut Yadi, saat musim kemarau panjang, beberapa daerah bahkan mengganti lahan persawahan menjadi media tanam tembakau untuk menyelamatkan perekonomian keluarga.

"Dengan kondisi ini, kebijakan yang menekan seperti PP 28/2024 akan mempersulit pendapatan dan otomatis merugikan petani," katanya. Lebih lanjut, Yadi berharap agar pemerintah dapat memberikan perlindungan bagi petani tembakau, bukan justru mendorong kebijakan yang merugikan.

Wamenkum Soroti Maraknya Rokok Ilegal, Tegaskan Perlunya Penertiban

Wakil Menteri Hukum, Edward Omar Sharif Hiariej, menyoroti meningkatnya peredaran rokok ilegal di Indonesia. Menurutnya, keberadaan rokok ilegal tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga menimbulkan kerugian bagi negara serta membahayakan masyarakat.

“(Rokok ilegal) harus ditertibkan. Karena tidak hanya merusak perekonomian, ada soal merek, tapi juga sifat bahayanya barang itu. Kalau rokok (ilegal) itu dijual, satu perbuatan dia terkena beberapa pasal,” ujar Edward dalam wawancara di Jakarta Selatan, Senin. 

Edward juga mengingatkan bahwa penegakan hukum terhadap peredaran rokok ilegal perlu diperkuat, mengingat pelanggaran yang terjadi mencakup sejumlah aturan, mulai dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) hingga regulasi perdagangan dan perlindungan merek.

Di sisi lain, wacana penyeragaman kemasan rokok melalui Peraturan Menteri Kesehatan sebagai turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 juga menuai tanggapan.

Edward menilai kebijakan tersebut perlu diimbangi dengan pendekatan yang mengakomodasi berbagai kepentingan.

“Solusinya harus bisa mengakomodasi kepentingan semua pihak—antara manfaat ekonomi dan keadilan hukum,” ungkap Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada itu.

Sementara itu, Ketua Umum Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo), Benny Wachjudi, menyatakan bahwa penyeragaman bungkus rokok berisiko mendorong peningkatan peredaran rokok ilegal.

“Ini bisa menimbulkan kebingungan di masyarakat dan membuka celah makin banyaknya rokok ilegal di pasaran,” katanya saat dihubungi.

Benny juga mempertanyakan dasar hukum kebijakan tersebut yang, menurutnya, tidak tercantum dalam PP 28/2024. Ia menyebutkan bahwa regulasi baru seperti ini seharusnya memiliki dasar undang-undang.

“Ini justru menjadi aturan baru yang tidak memiliki dasar kuat. Seharusnya diatur di undang-undang dulu,” tegasnya.

Lemahnya Penindakan Rokok Ilegal

Lebih lanjut, Benny menyoroti lemahnya penindakan terhadap produsen rokok ilegal. Ia menyatakan bahwa penindakan selama ini hanya menyasar rantai distribusi seperti pengecer atau pengangkut, bukan hingga ke tingkat produksi.

“Kami belum pernah mendengar adanya tindakan tegas terhadap mesin produksi rokok ilegal,” ujarnya.

Gaprindo mencatat bahwa kontribusi cukai rokok pada 2024 mencapai Rp216,9 triliun, mendekati target pemerintah sebesar Rp230 triliun. Namun, menurut Benny, capaian ini sangat dipengaruhi oleh daya beli masyarakat.

Ia mencontohkan, pendapatan cukai yang sempat mencapai Rp218 triliun pada 2022 justru menurun menjadi Rp213,5 triliun pada 2023 setelah pandemi.

Dari sektor ritel, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Solihin, mengungkapkan bahwa kebijakan seragam kemasan rokok akan menyulitkan pelaku usaha kecil, terutama warung dan toko kelontong.

“Kalau di supermarket mungkin masih bisa dikontrol, tapi tidak demikian dengan toko-toko kecil,” ucapnya.

Ia juga mengingatkan bahwa kemasan seragam akan menyulitkan konsumen dalam mengenali produk, yang berpotensi meningkatkan celah bagi rokok ilegal.

“Rokok ilegal yang sudah marak saja belum sepenuhnya bisa ditindak, apalagi dengan tambahan kebijakan seragam kemasan,” kata Solihin.

Ia berharap pemerintah mempertimbangkan kondisi perekonomian dan tidak memberlakukan kebijakan yang dapat memperberat pelaku usaha. “Pemerintah seharusnya mendorong kemudahan berusaha, bukan menambah beban dengan regulasi yang tidak berpihak pada dunia usaha,” tutupnya.

Read Entire Article
Kaltim | Portal Aceh| | |