Pemuda Ini Pilih Jadi Petani Milenial Dibanding Kerja Kantoran, Apa Enaknya?

17 hours ago 6

Liputan6.com, Jakarta - Iqbal Aprio Wandi, seorang petani milenial asal Indramayu, memulai perjalanan pertaniannya pada tahun 2020. Sebagai generasi muda, ia awalnya tidak pernah membayangkan akan berkarir di dunia pertanian.

"Saya terjun ke pertanian dari tahun 2020. tahun 2020 itu kurang lebih sekitar 4-5 tahun lah. Sebetulnya memang saya nggak pernah terpikir pada akhirnya untuk terjun ke pertanian," kata Iqbal kepada Liputan6.com, Rabu (7/5/2025).

Seperti kebanyakan lulusan perguruan tinggi, ia memiliki ambisi untuk bekerja di perusahaan besar. Namun, dengan adanya keterbatasan lapangan kerja akibat pandemi, Iqbal memutuskan untuk mengambil jalan lain dan kembali ke akar keluarganya yang memang sudah lama bergerak di sektor pertanian.

"Karena kebetulan latar belakang keluarga saya memang dari petani juga.Ya saya tinggal di Indramayu dan potensi yang paling besar di Indramayu itu ya kalau nggak di pertanian ya di perikanan. Pada awalnya memang yaudah deh, mungkin sambil nunggu-nunggu istilahnya, kan banyak ya lamaran yang sudah saya apply gitu ke beberapa perusahaan," ungkapnya.

Pria 28 tahun ini merupakan lulusan Teknologi Industri Pertanian dari Universitas Padjadjaran. Ternyata, keputusannya terjun ke bidang pertanian mampu membuka pandangannya, bahwa dunia pertanian bukan hanya penuh tantangan, tetapi juga penuh peluang.

"Oke deh sambil nunggu ada informasi terbaru gitu kan, entah interview dan lain sebagainya, nggak apa-apa deh, coba-coba dulu gitu kan. Terjun di bidang pertanian. Nah, seiring berjalan waktu ternyata potensinya besar sekali ternyata di pertanian," ujarnya.

Menanggulangi Tantangan dengan Teknologi

Sebagai petani muda, Iqbal merasa bahwa salah satu tantangan terbesar adalah bagaimana mengenalkan teknologi modern kepada petani-petani lainnya.

Di Indramayu, sebagian besar petani masih mengandalkan tenaga manual, yang menyebabkan biaya produksi menjadi tinggi. Untuk itu, Iqbal berupaya mengedukasi para petani lokal dengan teknologi pertanian yang lebih efisien, seperti penggunaan traktor roda empat, drone untuk penyemprotan pestisida, dan combine harvester untuk panen.

"Nah, memang PR-nya adalah untuk mengenalkan, entah ya, kenapa sih pertanian kita itu kalah sama negara-negara tetangga, kayak Thailand, Vietnam, Malaysia gitu ya. Karena memang di Malaysia, di Vietnam, di Thailand itu mereka petani-petaninya sudah melek teknologi gitu. Sudah banyak yang menggunakan alat mesin dan pertanian," ujarnya.

Mentalitas

Tantangan tak hanya datang dari adaptasi teknologi, tetapi juga dari mentalitas sebagian petani yang skeptis terhadap teknologi baru. Seringkali, ia mengenalkan dengan alat-alat modern, tapi responsnya cenderung mencibir. Mereka merasa alat-alat ini tidak cocok untuk diterapkan.

"Memang petani-petani kita ini ketika dikenalkan alat-alat seperti itu, ya pasti responnya pada mencibir gitu. Ah ini nggak cocok lah dan lain sebagainya gitu. Padahal kalau pengen, tadi pongkos produksinya minim, rendah, ya harus menggunakan teknologi seperti itu gitu," ujar Iqbal.

Namun, dengan tekad dan menunjukkan hasil yang positif, perlahan Iqbal berhasil meyakinkan petani-petani lain untuk beralih menggunakan teknologi yang lebih efisien.

"Cuma memang petani-petani kita itu, kalau kita sudah memulai, kita contohin hasilnya bagus, baru pada mengikuti. Jadi, memang tantangannya itu sih. Tantangannya ya mengenalkan teknologi-teknologi seperti itu," ujarnya.

Peluang untuk Generasi Muda

Iqbal melihat potensi besar bagi generasi muda untuk berkarir di dunia pertanian, meskipun mayoritas anak muda enggan terjun ke sektor ini. Menurutnya, salah satu alasan kenapa banyak anak muda enggan bertani adalah karena mereka melihatnya sebagai pekerjaan yang berat dan kurang menguntungkan. Padahal, jika dikelola dengan baik, sektor pertanian bisa sangat menguntungkan.

"Makanya memang kita permasalahan dari generasi pertanian gitu, tapi bagi saya itu kesempatan sebetulnya untuk anak-anak muda yang mau terjun ke pertanian. Karena memang mayoritas anak-anak muda jarang yang pengen terjun di pertanian, padahal tadi pertanian itu lahan basah, cuan lah, katakanlah begitu," ujar Iqbal.

Dengan memanfaatkan teknologi dan pendekatan yang lebih modern, dia meyakini bahwa pertanian bisa menjadi sektor yang menjanjikan bagi generasi milenial.

Kelembagaan Ekonomi Petani

Melalui program Kelembagaan Ekonomi Petani (KEP), Iqbal berhasil membuktikan bahwa generasi muda bisa berperan aktif dalam mengembangkan pertanian.

Program ini, yang didukung oleh pemerintah, memberikan pelatihan serta bantuan berupa alat dan modal bagi para petani muda. Berkat usaha kerasnya, Iqbal dan timnya bahkan berhasil meraih penghargaan sebagai KEP Berprestasi di tingkat nasional untuk kategori pertanian modern.

"Alhamdulillah kita dapet penghargaan sebagai Kelembagaan Ekonomi Petani (KEP) Berprestasi tingkat nasional kategori pertanian modern, dari Kementerian pertanian," ungkapnya.

Masa Depan Pertanian Indonesia

Iqbal optimistis tentang masa depan pertanian di Indonesia. Dengan adanya dukungan kuat dari pemerintah, seperti program swasembada pangan dan stabilitas harga gabah yang lebih baik, ia yakin bahwa sektor pertanian akan semakin berkembang.

"Bahkan sekarang harga pembelian-pemerintah kan Rp6.500, sekarang di tempat saya itu sudah tembus di harga Rp7.000, petani sangat senang. Biasanya ketika musim seperti ini, harga gabah itu jatuh, nah sekarang harganya mahal, petani senang. Dan itu juga mungkin salah satu bentuk pemerintah untuk menarik minat anak-anak muda gitu, untuk terjun ke pertanian," katanya.

Iqbal berharap masyarakat bisa melihat profesi petani dengan perspektif yang lebih positif. Masyarakat harus menghilangkan stigma bahwa hanya orang yang tidak pintar yang bekerja di sawah. Padahal, profesi petani itu mulia dan sangat menguntungkan.

Stigma di Masyarakat

"Ketika saya kecil, ketika saya sekolah, kadang ada stigma seperti ini, kalian harus belajar yang rajin, harus pintar, kalau nggak rajin, kalau nggak pintar, nanti kalian kerjanya di sawah, nanti kalian kerjanya di cangkul," ujarnya.

"Nah, stigma seperti itu harusnya nggak boleh gitu ada lagi di lingkungan masyarakat kita, karena memang profesi petani ini profesi yang mulia kok, bahkan profesi yang istilahnya, kata kalah mungkin kalau untuk Gen Z yang sekarang, profesi yang sangat menghasilkan gitu, jadi nggak boleh lagi tuh ada stigma-stigma seperti itu," tambahnya.

Read Entire Article
Kaltim | Portal Aceh| | |