Liputan6.com, Jakarta - Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN RB), Rini Widyantini mengungkapkan fenomena masyarakat yang terkesan ragu menggunakan layanan digital pemerintah. Hal ini dipengaruhi oleh keamanan digital yang jadi perhatian masyarakat.
Rini menyebut, layanan digital terkadang terlihat kokoh dari luar. Padahal masih menyimpan sisi rentan terhadap serangan-serangan siber. Pada saat yang sama, kebijakan kerap kali berubah yang turut berdampak ke layanan digital tadi.
"Kita juga dihadapi kebijakan yang sering tiba-tiba berubah, jadi membuat layanan itu berubah lagi, bisnis prosesnya kita berubah lagi. Sehingga masyarakat itu menjadi ragu untuk menggunakan layanan digital yang akan disiapkan oleh pemerintah kita," kata Rini dalam Digital Resilience Summit 2025, di Kantor Peruri, Jakarta, Rabu (10/9/2025).
Perlindungan data pribadi juga menjadi tantangan tersendiri kala dihadapkan dengan serangan siber tadi. Untuk itu diperlukan upaya untuk membangun ketahanan digital.
Rini menyoroti meningkatnya pemanfaatan layanan digital besutan pemerintah seperti aplikasi Peduli Lindungi saat masa pandemi Covid-19 lalu. Kunci penting dari penggunaan aplikasi ini adalah terintegrasinya data antara satu instansi dengan lainnya.
"Interoperabilitas data itu menjadi sangat-sangat penting dan komunikasi publik tentunya menjadi penting juga. Jadi digital resilience itu buat pemerintah itu adalah kombinasi antara teknologi, tata kelola dan konsistensi terhadap pelayanan, serta bagaimana mengkomunikasikan kepada publik yang lebih transparan," tutur Rini.
Kerugian dari Pencurian Data Pribadi
Diberitakan sebelumnya, ancaman penipuan digital terus menghantui sektor jasa keuangan di tengah pesatnya perkembangan teknologi. Laporan IBM Cost of Data Breach 2024 bahkan mencatat rata-rata kerugian akibat pencurian data pribadi secara global mencapai USD 4,9 juta atau sekitar Rp 79,6 miliar (kurs 16.252 per USD). Angka ini naik 10% dibanding tahun sebelumnya.
Sedangkan menurut data, Indeks Literasi Keuangan Indonesia pada 2025 baru mencapai 66,46%, sementara Indeks Literasi Digital 2024 ada di angka 3,78 dari skala 5. Rendahnya literasi ini membuat masyarakat rentan menjadi korban penipuan digital.
Wakil Sekretaris Jenderal II Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH), Saat Prihartono, menegaskan pentingnya keseimbangan antara inovasi layanan dan keamanan digital. Hal ini untuk menjawab kebutuhan dan gaya hidup masyarakat, tetapi kemudahan akses harus diimbangi dengan sistem keamanan dan infrastruktur TI yang andal.
Ancaman Deepfake AI
Proses e-KYC merupakan pintu gerbang layanan digital sekaligus titik rawan terjadinya identity fraud, terlebih dengan ancaman baru seperti penyalahgunaan teknologi deepfake AI.
"Strategi anti-fraud yang komprehensif dan pemanfaatan AI untuk deteksi anomali secara real-time menjadi kunci menjaga digital trust di sektor jasa keuangan,” ujar Saat dikutip Sabtu (9/8/2025).
Perubahan perilaku nasabah yang menginginkan layanan cepat, praktis, dan terintegrasi telah mendorong transformasi besar-besaran di sektor perbankan digital.
Mulai dari pembukaan rekening, proses onboarding, pembayaran, transaksi e-commerce, pengajuan pinjaman, investasi, hingga pengelolaan keuangan kini bisa diakses kapan saja dan di mana saja.
Namun, kemudahan ini juga membawa risiko baru, salah satunya identity fraud yang kian canggih dengan hadirnya teknologi deepfake AI.
Verifikasi Identitas
Sementara itu CEO Privy Marshall Pribadi menjelaskan, identitas digital yang dikelola Penyelenggara Sertifikasi Elektronik (PSrE) seperti Privy berperan sebagai pihak ketiga netral dalam setiap transaksi elektronik.
"Dengan memanfaatkan identitas digital, industri jasa keuangan dapat menyederhanakan proses onboarding nasabah tanpa mengorbankan keamanan. Selain kenyamanan bagi nasabah, setiap sertifikat elektronik memiliki certificate warranty sebagai mitigasi risiko bagi penyedia jasa keuangan," paparnya.
Dari sudut pandang industri perbankan, Chief Digital & Analytics Officer Bank Danamon, Andreas Kurniawan menekankan bahwa teknologi verifikasi identitas menjadi pondasi keamanan layanan digital.
“Dalam menghadapi kompleksitas ancaman digital, kami di Bank Danamon menggabungkan teknologi seperti e-KYC, liveness detection, dan OCR dengan pendekatan verifikasi berlapis. PSrE membantu memastikan identitas nasabah benar-benar valid, sehingga proses onboarding lebih efisien, real-time, dan risiko fraud berkurang drastis. Sinergi dengan berbagai pihak menjadi kunci agar perbankan bisa terus beradaptasi dengan cepatnya perkembangan teknologi,” jelasnya.