KPPU: Tarif Impor Trump Picu Badai PHK dan Serbuan Produk Asing

4 hours ago 5

Liputan6.com, Jakarta Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menilai, bahwa kebijakan tarif impor yang diterapkan Presiden Amerika Serikat Donald Trump terhadap Indonesia, berpotensi menimbulkan gangguan serius terhadap persaingan usaha dan bahkan memicu gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal di Indonesia.

Wakil Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Aru Armando, menjelaskan perusahaan yang bergantung pada ekspor ke Amerika Serikat akan mengurangi produksi, bahkan permintaan yang turun.

Selain itu, jika permintaan domestik tak mampu menyerap kelebihan produksi, biaya penyimpanan akan meningkat dan menyebabkan kerugian bisnis.

"Sehingga kepotensi menyebabkan terjadinya badai PHK atau keputusan pekerja atau bahkan penutupan pabrik," kata Aru dalam konferensi pers KPPU terkait Dampak Penerapan Tarif Impor oleh AS, Senin (5/5/2025).

Jika permintaan domestik tak mampu menyerap kelebihan produksi, biaya penyimpanan akan meningkat dan menyebabkan kerugian bisnis.

Daya Saing Produk RI

Selain tarif impor berpotensi menyebabkan badai PHK, menurut Aru, dampak lainnya dari kebijakan tarif tersebut adalah melemahnya daya saing produk ekspor Indonesia di pasar global.

Ia mencontohkan, produk minyak sawit Indonesia kalah bersaing dengan produk serupa dari Malaysia di pasar Amerika Serikat.

Hal ini terjadi karena tarif yang dikenakan terhadap minyak sawit dari Indonesia mencapai 32 persen, sedangkan dari Malaysia hanya 24 persen.

"Minyak sawit Indonesia di Amerika Serikat akan kalah bersaing karena harganya tentu akan lebih mahal, bahkan juga dibandingkan dengan Malaysia. Karena Malaysia menggunakan tarif yang lebih rendah, yaitu 24 persen, ssementara di Indonesia adalah tarif 32 persen," jelasnya.

Tidak hanya minyak sawit, sektor lain seperti tekstil, alas kaki, elektronik, karet, dan kopi juga terancam mengalami penurunan volume ekspor. Untuk mengatasi hal ini, Aru menekankan pentingnya diversifikasi pasar ekspor ke wilayah alternatif seperti Uni Eropa, Tiongkok, Timur Tengah, dan Afrika. Namun, ia mengakui bahwa proses diversifikasi tersebut membutuhkan waktu dan strategi baru.

"Minyak sawit Indonesia di Amerika Serikat akan kalah bersaing karena harganya tentu akan lebih mahal, bahkan juga dibandingkan dengan Malaysia. Karena Malaysia menggunakan tarif yang lebih rendah, yaitu 24 persen, ssementara di Indonesia adalah tarif 32 persen," katanya.

Read Entire Article
Kaltim | Portal Aceh| | |