Indonesia Punya Potensi Carbon Capture Terbesar di Asia Pasifik, Kontraktor Migas Diminta Ikut Garap

7 hours ago 3

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, mengajak Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) minyak dan gas (migas), baik di dalam maupun luar negeri untuk bergabung dalam industri penyimpanan karbon (Carbon Capture and Storage/CCS). 

Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi penyimpanan penangkapan karbon terbesar di Asia Pasifik. Dengan potensi yang mencapai 572,77 gigaton untuk saline aquifer (akuifer yang airnya asin) dan 4,85 gigaton di depleted reservoir (akuifer yang airnya habis).

"Saat ini dunia selalu berpikir sekarang tentang membangun industrialisasi dengan pendekatan green energy dan green industry. Salah satu di antaranya untuk mewujudkannya adalah bagaimana menangkap carbon capture-nya, CO2-nya," kata Bahlil dalam keterangan resmi Kementerian ESDM, Jumat (23/5/2025).

Bahlil menyampaikan komitmen pemerintah dalam memberikan berbagai kemudahan bagi para investor. Guna menciptakan iklim investasi yang lebih menarik dan kondusif bagi pengembangan industri strategis ke depan. 

Sebagai langkah konkret, regulasi pendukung dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Menteri ESDM (Permen) telah diselesaikan.

"Aturannya sudah kita buat dan saya tawarkan kepada bapak Ibu semua. Silakan masuk. Lebih cepat, lebih baik. Kita kasih sedikit relaksasi sweetener. Tapi kalau sudah booming baru masuk, sweetener-nya tidak akan sebaik sekarang," tegas Bahlil.

30 Izin untuk 12 Kontraktor

Sejak 2021 hingga 2024, pemerintah telah menerbitkan 30 izin pemanfaatan data kepada 12 kontraktor. Untuk mendukung pelaksanaan studi Carbon Capture and Storage (CCS) dan Carbon Capture, Utilization and Storage (CCUS) di berbagai wilayah Indonesia.

Studi tersebut mencakup 19 lokasi strategis, antara lain Lapangan Arun, Corridor, Sakakemang, Betung, Ramba, Asri Basin, ONWJ, Jatibarang, Gundih, Sukowati.

Kemudian, Lapangan Abadi, CSB, Gemah, South Natuna Sea Block B, East Kalimantan, Refinery Unit V Balikpapan, Blue Ammonia, Donggi Matindok, serta Lapangan Tangguh di Bintuni, Papua.

Bisa Tampung Emisi hingga 1.000 Tahun

Indonesia sendiri terus menggalakkan pengembangan teknologi tempat penangkapan dan penyimpanan karbon, atau carbon capture and storage (CCS). Dengan memiliki CCS, Indonesia diklaim bisa memiliki tempat penampungan emisi karbon hingga 1.000 tahun. 

Executive Director Indonesia Carbon Capture and Storage Center (ICCSC), Belladona Troxylon Maulianda, menyebut Indonesia punya keunggulan seperti tempat penyimpanan emisi di bawah tanah cukup besar, sekitar 600 gigaton (600 ribu ton). Di sisi lain, angka emisi yang keluar per tahunnya mencapai 600 juta ton. 

"Jadi 600 gigaton kalau dibagi dengan 600 juta ton, kita bisa simpan sekitar 1.000 tahun untuk emisi domestik. Tapi kalau kita ingin menyimpan CO2 dari negara-negara tetangga lainnya untuk mendapatkan pendapatan, itu juga dikombinasikan dengan emisi domestik kira-kira kita bisa menyimpan sekitar 200 tahun," terangnya beberapa waktu lalu. 

Capai Swasembada Energi, Bahlil Mau Lelang 60 Blok Migas

Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengungkapkan, ada sebanyak 60 wilayah kerja (WK) minyak dan gas bumi (migas) yang akan dilelang dalam 3 tahun.

Hal itu disampaikan Bahlil Lahadalia saat memberi laporan kepada Presiden Prabowo Subianto dalam acara The 49th Indonesian Petroleum Association (IPA) Convex di Tangerang, Rabu (21/5/2025).

"Masih ada 60 WK yang kita akan tenderkan pada 2-3 tahun ke depan," ujar Bahlil.

Ia pun meminta dukungan Presiden Prabowo untuk melaksanakan rencana tersebut. “Kalau memang bisa cepat kita laksanakan, akan kita laksanakan,” ujarnya.

Bahlil yakin 60 blok migas tersebut dapat membantu meningkatkan produksi energi dalam negeri. Upaya ini sejalan dengan target Presiden Prabowo Subianto untuk mencapai swasembada energi.

Menteri ESDM menyoroti masa kejayaan sektor migas Indonesia pada 1996-1997, di mana lifting minyak saat itu mencapai 1,5-1,6 juta barrel per hari (bph) dengan konsumsi berkisar 500.000 bph.

Namun kondisi tersebut berbanding terbalik pada 2024 di mana Indonesia hanya mencatat lifting minyak sebesar 580.000 bph dengan konsumsi 1,6 juta bph.

Selain itu, impor migas Indonesia juga melonjak hingga bernilai USD 35- USD 40 miliar per tahun.

“Artinya, posisi di tahun 1996-1997 dengan 2024 berbanding terbalik," ucap Bahlil.

"Bapak Presiden telah mencanangkan dan memerintahkan kepada kami untuk bagaimana caranya lifting kita naikkan dan harus mencapai di angka 900.000 sampai dengan 1 juta barrel pada 2029-2030," imbuhnya.

Read Entire Article
Kaltim | Portal Aceh| | |