Liputan6.com, Jakarta - Harga minyak goreng kemasan rakyat (MinyaKita) kembali menjadi perhatian. Hal ini setelah Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi) melihat berdasarkan hasil tinjauan kenaikan harga minyakita di berbagai daerah melampaui Eceran Tertinggi (HET).
Harga minyakita dapat menembus level Rp 16.700-Rp 17.000. Sedangkan harga minyakita tertinggi di Papua dan wilayah timur hingga Rp 20.000.
“Kenaikan harga dirasakan meski nominal tidak terlalu besar, tapi mempengaruhi masyarakat secara luas,” tutur Sekretaris Jenderal DPP IKAPPI Reynaldi Sarijowan, dalam keterangannya, Kamis, 28 Agustus 2025 seperti dikutip Jumat, (29/8/2025).
Ia menilai, fenomena ini dinilai tidak logis karena Indonesia adalah produsen sawit terbesar, tetapi tetap sulit mendapatkan minyak goreng terjangkau di dalam negeri.
Berdasarkan dalam laporan Sawit Indonesia dalam Dinamika Pasar Dunia, produksi minyak sawit (crude palm oil/CPO) dunia pada 2022-2023 sebanyak 79,16 juta metrik ton. Indonesia berkontribusi sekitar 58% atau setara 46,5 juta metrik ton ke total pasokan minyak sawit dunia.
Adapun terkait harga minyakita di atas HET, Reynaldi menuturkan, itu didorong sejumlah faktor. Salah satunya regulasi dan intervensi pemerintah (termasuk DMO) dipandang justru menciptakan hambatan dalam sistem pasar minyak goreng.
Permendag Nomor 18 tahun 2024 dibahas sebagai salah satu regulasi yang dinilai memerlukan evaluasi, karena proses hulu ke hilir minyak goreng tidak terselesaikan.
“Peran swasta dalam produksi dan distribusi minyak dinilai menyebabkan sulitnya kontrol pemerintah terhadap harga dan ketersediaan,” kata dia.
Biaya Produksi
Sementara itu, Ketua Umum RSI (Rumah Sawit Indonesia) Kacuk Sumarto menilai wajar jika pengusaha Minyakita meminta kenaikan HET. Hal ini mengingat harga crude palm oil (CPO) sudah di atas Rp 14.500 per liter.
"Sehingga jika diolah menjadi minyak goreng tentu biaya produksinya melampau HET yang berlaku sekarang, yaitu Rp 15.700 per liter. Dengan demikian, jika kondisi ini berlarut-larut, maka mereka akan rugi,” ujar dia saat dihubungi Liputan6.com, ditulis Jumat (29/8/2025).
Ia mengatakan, kondisi sekarang pun sebenarnya harga minyakita di pasar Pulau Jawa sudah meningkat berkisar antara Rp 16.000,- per liter sampai Rp 18.000 per liter. Ia mengatakan, di Indonesia Bagian Timur mencapai harga Rp 20.000 per liter, meski pun HET tidak berubah.
“Melihat kondisi seperti ini, Pemerintah harus tanggap bahwasanya ada pedagang-pedagang ingin mengambil untung lebih banyak lagi, dan saya menduga bahwa kenaikan harga ini bukan ulah dari produsen murni, dan untuk itu perlu ditindak,” kata dia.
Kacuk mengatakan, Pemerintah juga perlu menyeimbangkan antara kepentingan produsen dan konsumen. Produsen tidak boleh rugi, demikian pula konsumen masih mampu membeli.
"Kita tahu bahwa CPO adalah komoditi yang diperdagangkan secara internasional, sehingga harga pun tentu dipengaruhi oleh kondisi supply dan demand secara global, yang berakibat harga bisa naik atau turun setiap saat. Untuk itu pemerintah perlu memberikan penjelasan kepada masyarakat harga tidak bisa dipatok pada satu harga tertentu untuk jangka waktu yang panjang. Sehingga masyarakat memahami dan siap jika suatu saat harga akan naik, dan bahkan turun," ujar dia.
Kata Pengamat soal Penyebab Harga MinyaKita Naik
Sementara itu, pengamat pertanian Khudori mengatakan, sejak ada heboh MinyaKita takarannya tidak sesuai, Februari-Maret lalu, harga MinyaKita hanya sempat turun sebentar. Ia menuturkan, hal itu pun belum pernah menyentuh HET Rp 15 700 per liter. Harga kembali naik.
“Merujuk data SP2KP Kemendag, 28 Agustus 2025, harga MinyaKita secara nasional mencapai Rp 16.700 per liter, naik dari posisi 4 Agustus lalu yang mencapai Rp 16.600 per liter. Jika ditarik jauh ke belakang, pelampauan HET sebenarnya sudah terjadi sejak pertengahan 2023, hampir dua tahun. Ini sepertinya tidak semata-mata masalah teknis, tapi ada problem struktural yang jadi biang penyebab,” kata dia saat dihubungi Liputan6.com.
Khudori memaparkan salah satu penyebab kenaikan HET minyakita yakni ongkos produksi MinyaKita yang tidak masuk di akal. Produsen, merujuk Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 1028/2024, harus menjual MinyaKita ke Distributor Lini 1 (D1) maksimal Rp 13.500 per liter. Lalu, D1 melepas ke D2 maksimal Rp 14.000/liter, D2 menjual ke pengecer Rp14.500/liter, dan pengecer ke konsumen akhir Rp15.700/liter.
Ia mengatakan, dengan memperhitungkan margin keuntungan, biaya olah, kemasan, dan distribusi harga maksimal bahan baku, yakni minyak sawit mentah (CPO), tak lebih dari Rp10 ribu/kg. Kalau harga CPO lebih dari itu produsen MinyaKita potensial merugi.
Sementara itu, harga CPO domestik berada di atas Rp10 ribu/kg sudah berlangsung lama. Juli lalu sempat menyentuh harga Rp 13.000-an/kg. Agustus ini bergerak di sekitar Rp 14.370 – Rp 14.650/kg.
"Adalah benar produsen MinyaKita terus berproduksi di tengah potensi kerugian. Salah satu ‘akrobat’ yang mungkin dilakukan adalah produsen menjual bundling MinyaKita dengan barang lain agar kerugian tertutupi. Boleh jadi, ‘akrobat’ lainnya adalah mencurangi isi. Jika ini dilakukan produsen, hemat saya, terlalu berani. Bisa jadi pelakunya adalah para trader,” ujar dia.
Penyebab Lainnya
Kedua, menurut Khudori, membatasi distributor hanya sampai lini 2 untuk wilayah seluas Indonesia dengan beragam kondisi daerah adalah aneh, bahkan mustahil.
“Pembatasan ini amat ideal. Tapi terbentur realitas yang sulit dieksekusi. Ini terkonfirmasi temuan Kementerian Perdagangan: distributor MinyaKita sampai D3 dan D4 yang berujung harga di atas HET," ujar Khudori.
Ia mengatakan, jika pun ada D1 dan D2 yang punya kemampuan dan jejaring bisa menjangkau seluruh wilayah negeri, jumlahnya mungkin segelintir. Dan, jangan-jangan, mereka juga bagian dari grup produsen MinyaKita.
"Di sinilah pentingnya transparansi. Aplikasi Simirah yang didesain untuk memantau distribusi mestinya menjadi pembuktian keterbukaan itu,” ujar Khudori.
Ketiga, beleid MinyaKita mengulang skema kebijakan yang sudah terbukti gagal mengatasi gonjang-ganjing minyak goreng pada 2021-2022. Dari 21 regulasi yang pernah diterbitkan untuk mengatasi gejolak minyak goreng pada 2021-2022 bertumpu pada tiga skema: HET minyak goreng (curah dan kemasan), wajib pemenuhan kebutuhan domestik (domestic market obligation/DMO) dan wajib harga penjualan domestik (domestic price obligation/DPO).
“DMO dan DPO adalah syarat eksportir CPO mendapatkan izin ekspor dengan rasio tertentu sesuai dinamika pasar. Bukan teratasi minyak goreng malah langka,” ujar dia.
Kelemahan DMO
Ia mengatakan, kalau sudah tahu skema DMO, DPO, dan HET tidak manjur mengatasi masalah minyak goreng tapi masih dijadikan jurus andalan memastikan ketersediaan minyak goreng dengan harga terjangkau buat rakyat seperti MinyaKita?
“Salah satu kelemahan skema DMO adalah beleid ini tidak mengakomodasi fluktuasi harga CPO, bahan baku minyak goreng. Tatkala harga CPO naik otomatis harga MinyaKita naik. Sebaliknya, kala harga CPO turun, harga MinyaKita di konsumen tak otomatis turun. Jika turun biasanya amat lambat. Beleid ini juga menghambat ekspor dan menurunkan penerimaan negara,” kata dia.
"Mereka secara terang-terangan menipu rakyat dengan mengurangi isi. Agar tidak berulang, pengawasan harus diperketat. Diakui atau tidak, kisruh MinyaKita terjadi karena pengawasan tidak efektif. Bukankah ada Ditjen Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga di Kementerian Perdagangan, juga Badan Perlindungan Konsumen Nasional yang langsung di bawah presiden, dan aparat penegak hukum? Ke mana saja mereka selama ini. Akan tetapi, penegakan hukum tak akan mengubah apa-apa jika tidak dibarengi upaya mengoreksi kebijakan menyeluruh guna mengubah ekosistem yang ada,” ujar Khudori.
Pemerintah Masih Lakukan Kajian Pola Distribusi MinyaKita
Sementara itu, Menteri Perdagangan Budi Santoso menuturkan, pemerintah belum akan menaikkan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng rakyat atau MinyaKita. Harga MinyaKita kini ditetapkan Rp 15.700 per kilogram (kg).
Budi mengatakan, pemerintah kini masih terus melakukan kajian terkait dengan pola distribusi MinyaKita.
"Enggak (menaikkan HET), belum. Kita masih ngomongin distribusi," kata Budi, seperti dikutip dari Antara, Kamis, 28 Agustus 2025.
Ia menjelaskan bahwa saat ini harga rata-rata nasional Minyakita sebesar Rp16.600 per kilogram. Harga tersebut diakuinya lebih tinggi sedikit dibandingkan dengan HET.
Menurut dia, kenaikan harga Minyakita sehingga menjadi Rp17.000 per kilogram terjadi pada wilayah Indonesia bagian timur, yang distribusinya tidak semudah di Pulau Jawa.
Upaya Pemerintah Benahi MinyaKita dari Distribusi
Pemerintah masih terus berkoordinasi dengan kementerian/lembaga terkait untuk mencari penyebab utama dari tingginya harga Minyakita di beberapa daerah.
"Kita cari sebenarnya penyebabnya itu apa. Karena sebenarnya HET Minyakita Rp15.700. Sekarang rata-rata nasional Rp16.600. Itu rata-rata nasional. Artinya ada di daerah tertentu harganya sesuai HET," jelas Budi.
Budi menuturkan, pemerintah masih berupaya untuk membenahi Minyakita dari sisi distribusi.
Selain itu, Kementerian Perdagangan juga menggandeng Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di bidang pangan, dalam hal ini Bulog untuk membantu dalam pendistribusian.
"Makanya kita benahi dulu, mungkin distribusinya bagaimana. Nanti kita ingin meningkatkan peran BUMN Pangan, untuk distribusi," ujar dia.
Usulan Solusi
Sementara itu, IKAPPI pun menyarankan perlunya pelibatan semua pihak (pemerintah, BUMN, swasta) dalam diskusi menyeluruh tata kelola minyak goreng.
"Pemerintah disarankan memberi peran lebih besar kepada BUMN, misalnya menunjuk 1-3 BUMN untuk memproduksi dan mengontrol distribusi minyak kita agar pengawasan lebih mudah dan efektif. Seperti contoh ID Food hanya mendapatkan kurang lebih 7% dari jumlah distribusi yg disalurkan,” kata Reynaldi.
Dengan peran BUMN yang ditingkatkan, pemerintah dapat lebih mudah mengontrol harga dan distribusi, serta menekan praktik bundling antara minyak subsidi dan produk premium. Sementara Swasta cenderung sulit dikontrol, baik dari sisi produksi maupun distribusi, dan sering terjadi praktik bandling atau distributornya menambah harga.
Di pasar ditemukan praktik "bundling" yakni pedagang hanya bisa mengambil minyak kita jika juga membeli minyak premium. Beberapa distributor menaikkan harga sehingga harga di konsumen semakin tinggi.
Perlu Libatkan Semua Pihak dalam Tata Kelola Minyak Goreng
Stok minyak goreng sebenarnya tersedia, tetapi karena pola sistem distribusi seperti ini yg melibatkan D1 (Distributor 1) bahkan sampai dengan D3 baru sampai ke pasar, harga akan naik.
Ia pun mengusulkan agar mengevaluasi kembali Permendag 18 tahun 2024 terkait tata kelola minyak kita dari hulu ke hilir. Tingkatkan peran dan tanggung jawab BUMN dalam memproduksi serta mendistribusikan minyak Kita.
IKAPPI juga meminta agar melibatkan seluruh pihak dalam diskusi tata kelola minyak goreng, dari pemerintah, BUMN hingga pelaku pasar, serta memperketat pengawasan pada distribusi dan praktik "bundling" di pasar.
Usulan Pengamat
Sementara itu, Khudori menuturkan, ke depan pemerintah perlu membuat kebijakan yang tidak mendistorsi harga dan pasar. Kalau hendak mensubsidi MinyaKita untuk kelompok miskin/rentan dan UMKM, sebaiknya dilakukan dengan transfer tunai.
“Uang hanya bisa digunakan untuk membeli MinyaKita. Tidak bisa dicairkan atau digunakan membeli barang lain,” ujar dia.
Sumber uang bisa didapatkan dari kenaikan pungutan ekspor (levy), misalnya 1%, yang dikelola Badan Pengelola Dana Perkebunan yang sebelumnya bernama BPDPKS (Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit). “Cara ini tidak mendistorsi harga dan lebih tepat sasaran,” kata dia.
Sementara itu, Kacuk mengatakan, sisi produsen juga harus mengetahui komoditas yang digeluti (minyak goreng) adalah bagian dari bahan pangan pokok yang menyangkut hajat hidup orang banyak, sehingga dalam batas-batas tertentu akan diintervensi oleh Pemerintah.
"Oleh karenanya perlu ada diversifikasi produk dan pasar, yang dengan demikian bisa dilakukan cross-subsidy laba secara internal perusahaan, jika harga minyak kita tidak bisa mencukupi biaya produksinya," ujar dia.