Liputan6.com, Jakarta - Bank Indonesia (BI) menyebutkan cadangan devisa Indonesia pada akhir April 2025 sebesar USD 152,5 miliar tetap tinggi meski turun sekitar USD 4,6 miliar dibandingkan akhir Maret 2025 sebesar USD 157,1 miliar.
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia, Ramdan Denny Prakoso menuturkan, perkembangan tersebut antara lain dipengaruhi oleh pembayaran utang luar negeri pemerintah dan kebijakan stabilisasi nilai tukar Rupiah sebagai respons Bank Indonesia dalam menghadapi ketidakpastian pasar keuangan global yang makin tinggi.
“Posisi cadangan devisa pada akhir April 2025 setara dengan pembiayaan 6,4 bulan impor atau 6,2 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor,” ujar dia seperti dikutip dari laman Bank Indonesia, Kamis (8/5/2025).
Bank Indonesia menilai cadangan devisa tersebut mampu mendukung ketahanan sektor eksternal serta menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan.
Ke depan, Bank Indonesia memandang posisi cadangan devisa memadai untuk mendukung ketahanan sektor eksternal sejalan dengan tetap terjaganya prospek ekspor, neraca transaksi modal dan finansial yang diprakirakan tetap mencatatkan surplus.
Selain itu, persepsi positif investor terhadap prospek perekonomian nasional dan imbal hasil investasi yang menarik. Bank Indonesia terus meningkatkan sinergi dengan Pemerintah dalam memperkuat ketahanan eksternal guna menjaga stabilitas perekonomian untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Pembukaan Rupiah Hari Ini 8 Mei 2025
Sebelumnya, nilai tukar rupiah lesu terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada Kamis pagi (8/5/2025). Rupiah turun 10 poin atau 0,06% menjadi 16.546 per dolar dari sebelumnya 16.536 per dolar AS.
Analis mata uang Doo Financial Futures Lukman Leong prediksi nilai tukar rupiah loyo terhadap dolar AS usai the Federal Reserve (the Fed).
"Rupiah akan melemah terhadap dolar AS setelah dalam pertemuan FOMC, the Fed bernada sedikit lebih hawkish dari perkiraan dan mempertahankan suku bunga,” kata dia seperti dikutip dari Antara, Kamis pekan ini.
Sesuai prediksi, the Fed mempertahankan suku bunga acuan di kisaran 4,25%-4,5%.
Mengutip dari Anadolu Agency, suku bunga dipertahankan karena FOMC berupaya mencapai lapangan kerja maksimal dan inflasi pada tingkat 2% dalam jangka panjang seiring ketidakpastian tentang prospek ekonomi telah meningkat lebih jauh.
Jika terdapat risiko yang menghambat tujuan tersebut, FOMC disebut akan siap menyesuaikan sikap kebijakan moneter sebagaimana mestinya.
"The Fed masih enggan menurunkan suku bunga karena memandang meningkatnya risiko ekonomi dari meningkatnya inflasi dan pengangguran," ujar Lukman.
Kritik terhadap Jerome Powell
Sebelumnya, kritik berulang disampaikan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump terhadap Gubernur The Federal Reserve (the Fed) Jerome Powell yang menganggap gagal bertindak cepat saat risiko ekonomi meningkat.
Seiring hal itu, Trump menuntut The Fed agar bisa memangkas suku bunga agar tak menghambat ekonomi AS.
The Fed meski bersikap lebih hawkish, harapan perundingan tarif antara China dengan AS bisa membatasi pelemahan kurs rupiah.
"Memang perkembangan seputar tarif agak membingungkan. Secara jangka pendek akan menguatkan dolar karena ekonomi AS bisa terhindar dari resesi, sehingga mata uang EM (emerging market) tertekan," ujar dia.
"Namun secara umum, akan positif bagi mata uang EM jangka panjang karena eksposur besar pada perdagangan internasional, dan juga akan meningkatkan sentimen risk on di pasar yang cenderung positif bagi mata-mata uang beresiko," Lukman menambahkan.
Berdasarkan faktor-faktor tersebut, rupiah diprediksi berkisar 16.450 -16.660 per dolar AS.