Liputan6.com, Jakarta - Kamboja resmi membuka Bandara Internasional Techo di ibu kota Phnom Penh pada Selasa, 9 September 2025. Peresmian ditandai dengan kedatangan penerbangan perdana yang disambut meriah, dengan harapan fasilitas baru ini mampu menjadi motor penggerak pariwisata negara tersebut.
Pesawat Air Cambodia dari China mendapat penyambutan khusus berupa semburan air dari mobil pemadam kebakaran saat mendarat di terminal bandara senilai USD 2 miliar atau Rp 32,96 triliun (asumsi kurs dolar Amerika Serikat terhadap rupiah di kisaran 16.481). Lokasinya berjarak sekitar 20 kilometer dari pusat kota Phnom Penh.
Dilansir dari ABC News pada Rabu, (10/9/2025), bandara dengan tiga landasan pacu ini menggantikan Phnom Penh International Airport yang berusia hampir 70 tahun dan hanya memiliki satu landasan. Semula direncanakan beroperasi pada Juli lalu, tetapi pembukaan mundur akibat kendala teknis.
"Momen ini menjadi langkah penting bagi penerbangan dan perekonomian Kamboja,” ujar mantan Perdana Menteri Hun Sen melalui media sosial.
Sejumlah penumpang juga menyambut positif pembukaan bandara baru tersebut. “Sebuah kehormatan bisa menjadi salah satu penumpang pertama. Bandara ini luar biasa,” kata Warga Inggris yang tiba dari Singapura, David Weare.
Bandara Mampu Tampung 50 Juta pada 2030
Pada 2024, Phnom Penh International Airport melayani 4,75 juta penumpang. Techo International Airport ditargetkan mampu menampung 13 juta penumpang di tahap awal, meningkat menjadi 30 juta setelah 2030, dan hingga 50 juta pada 2050.
Peresmian ini mengikuti dibukanya Bandara Internasional Siem Reap-Angkor pada 2023 yang melayani kawasan wisata populer Angkor Wat. Kamboja berharap infrastruktur baru ini mampu mendorong pertumbuhan industri pariwisata.
Pada 2024, negara tersebut mencatat 6,7 juta kunjungan wisatawan mancanegara, naik 23% dibanding tahun sebelumnya.
Ketegangan dengan Thailand Berpotensi Ganggu Pariwisata Kamboja
Meski demikian, ketegangan dengan Thailand berpotensi mengganggu sektor pariwisata. Sedikitnya 41 tentara dan warga sipil tewas dalam bentrokan perbatasan sebelum gencatan senjata yang goyah dicapai pada 28 Juli.
Berbeda dengan bandara di Siem Reap yang dibiayai penuh oleh China, Bandara Techo dibangun melalui kerja sama pemerintah Kamboja dengan Overseas Cambodian Investment Corp. Nama “Techo,” yang berarti “perkasa” dalam bahasa Khmer, merupakan gelar kehormatan untuk para komandan militer Kamboja, termasuk Hun Sen.
Bandara ini dirancang oleh firma arsitektur Inggris Foster + Partners dan dibangun oleh China Construction Third Engineering Bureau Group Co. Ltd. Biaya awal USD 1,5 miliar membengkak menjadi USD 2 miliar pada saat peresmian, menurut Sinn Chanserey Vutha otoritas penerbangan sipil Kamboja.
Perdana Menteri Hun Manet, yang menggantikan ayahnya Hun Sen pada 2023 setelah memenangkan pemilihan yang dikritik secara internasional, menyatakan bandara lama Phnom Penh tetap dipertahankan. Fasilitas tersebut akan digunakan oleh militer dan dijadikan landasan cadangan dalam kondisi darurat.
Eksodus Besar-besaran Pekerja Kamboja dari Thailand Guncang Kedua Negara
Sebelumnya, Ta Thavy, seorang pekerja migran asal Kamboja, sudah dicekam rasa was-was berhari-hari ketika bentrokan militer meletus di perbatasan Thailand–Kamboja pada akhir Juli 2025.
Sengketa perbatasan yang lama membara itu pecah menjadi pertempuran paling mematikan dalam beberapa dekade, menewaskan 43 orang dan memaksa ratusan ribu orang mengungsi.
Ketakutan membuat ribuan pekerja migran Kamboja di Thailand, termasuk Ta dan suaminya, memutuskan pulang. Padahal mereka telah lebih dari 10 tahun bekerja di Bangkok tanpa dokumen resmi. Pulang berarti perjalanan panjang yang mahal dan berisiko, tetapi kekerasan di kamp pekerja tempat mereka tinggal menghapus segala keraguan.
"Sekitar jam lima sore, tiga orang Thailand mabuk. Salah satunya yang kami kenal, juga bekerja di lokasi konstruksi kami, datang membawa pisau dan menyerang," tutur Ta seperti dilansir CNA.
Suaminya terluka di tangan dan punggung. Dini hari berikutnya, mereka menempuh perjalanan dalam gelap ke perbatasan.
Mereka bukan satu-satunya. Migrant Working Group memperkirakan hingga dua juta orang Kamboja meninggalkan Thailand hanya dalam hitungan minggu. Khun Tharo, manajer program di organisasi hak buruh CENTRAL di Phnom Penh, menyebut gelombang manusia itu sebagai peristiwa yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah.