Liputan6.com, Jakarta Pada 13 Juni 2025, dunia dikejutkan oleh serangan udara Israel yang menewaskan sejumlah pemimpin militer Iran. Serangan itu segera dibalas oleh Iran melalui rentetan drone bermuatan bahan peledak yang diarahkan ke wilayah Israel.
Peristiwa ini menjadi titik awal eskalasi konflik yang berpotensi berkembang menjadi perang antar kawasan, bahkan tidak menutup kemungkinan menjadi konflik berskala global.
Dentuman konflik ini mengguncang fondasi perekonomian global yang selama ini sudah rapuh. Dampaknya tidak hanya terasa di wilayah Timur Tengah, tetapi menjalar hingga ke Indonesia dan berbagai negara lainnya yang terhubung dalam sistem ekonomi dunia.
Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik dari UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, mengingatkan bahwa Indonesia menghadapi ancaman serius akibat gejolak ini. Menurutnya, provokasi Israel bukan hanya peristiwa besar yang sulit diprediksi akhirnya, tetapi juga pemicu dari krisis pertumbuhan ekonomi global yang nyata.
"Bagi Indonesia, sebagai bagian tak terpisahkan dari perekonomian global, badai ini datang pada saat yang tidak tepat. Kita sedang berjuang untuk mempertahankan momentum pertumbuhan ekonomi yang menantang," kata Achmad kepada Liputan6.com, Selasa (17/6/2025).
Proyeksi Ekonomi RI
Dimana proyeksi ekonomi Indonesia untuk tahun 2025 sudah berada di level 4,7% dan diprediksi akan mencapai 4,5% dan sulit melampaui angka ini, bahkan cenderung menurun ke level 4,0%.
Ia menjelaskan bahwa proyeksi tersebut sudah menantang sejak awal, mengingat tekanan inflasi global dan proses pemulihan ekonomi pasca-pandemi yang belum sepenuhnya stabil. Kini, dengan meletusnya konflik di Timur Tengah, tekanan itu bertambah berat.
Dampaknya bagi RI
Achmad menggambarkan ekonomi Indonesia seperti rumah tangga yang penghasilannya bergantung pada stabilitas harga dan pekerjaan. Jika harga minyak dunia melonjak akibat konflik, maka harga kebutuhan pokok domestik pun ikut naik. Daya beli masyarakat akan tergerus, inflasi meningkat, dan biaya hidup pun melonjak.
"Jika investasi asing langsung (FDI) yang menjadi motor penggerak pertumbuhan tersendat karena ketidakpastian global yang meningkat dan investor memilih menunda ekspansi, maka lapangan kerja yang bisa tercipta akan berkurang," jelasnya.
Dampak lainnya, sektor pariwisata dan manufaktur pun rentan terhantam. Sektor pariwisata Indonesia, yang mulai bangkit pasca-pandemi dan sangat bergantung pada mobilitas internasional, akan terpukul keras jika masyarakat global menunda perjalanan akibat ketidakpastian dan kenaikan biaya.
Respon yang Diperlukan
Dalam menghadapi situasi ini, Achmad menekankan empat langkah strategis yang perlu segera diambil oleh pemerintah, terutama oleh tim ekonomi nasional.
Pertama, memperkuat fondasi internal. Ini berarti menjaga stabilitas harga melalui kebijakan moneter dan fiskal yang hati-hati, menjaga daya beli melalui bantuan sosial yang tepat sasaran, serta menciptakan iklim investasi yang ramah dengan memangkas birokrasi dan menawarkan insentif menarik.
Pemerintah juga harus siap dengan skenario darurat, termasuk kemungkinan lonjakan harga minyak dan komoditas lain. Subsidi terarah dan kebijakan fiskal yang fleksibel menjadi instrumen penting dalam skenario ini.
Kedua, melakukan diversifikasi dan adaptasi. Ketergantungan pada satu sumber energi atau satu jalur pasok membuat ekonomi sangat rentan. Indonesia harus mempercepat transisi energi terbarukan, memperkuat rantai pasok domestik, dan mengembangkan sektor-sektor yang tahan banting terhadap guncangan global, seperti industri digital dan manufaktur bernilai tambah tinggi.
Ketiga, memperkuat koordinasi internasional. Dalam krisis global, kerja sama lintas negara menjadi sangat penting. Indonesia perlu aktif dalam diplomasi untuk meredakan ketegangan Timur Tengah serta berperan dalam forum internasional guna menjaga stabilitas pasar energi dan keuangan dunia.
Keempat, mempersiapkan mental dan psikologis masyarakat. Ketidakpastian menciptakan kecemasan. Komunikasi yang transparan dari pemerintah dan para ahli.