Liputan6.com, Jakarta Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump memperluas penerapan tarif impor sebesar 50 persen untuk kategori baja dan aluminium. Lebih dari 400 jenis produk kini masuk dalam daftar tarif baru, yang secara signifikan memperlebar jangkauan sekaligus memperkuat dampak dari agenda perdagangannya.
Tarif impor tersebut, yang mulai berlaku pada Senin waktu setempat, mencakup berbagai komoditas seperti alat pemadam kebakaran, mesin, material konstruksi, hingga bahan kimia khusus berbasis aluminium hingga baja.
“Suku suku cadang mobil, bahan kimia, plastik, komponen furnitur—pada dasarnya, jika mengkilap, metalik, atau sedikit berkaitan dengan baja atau aluminium, kemungkinan besar ada dalam daftar,” tulis Brian Baldwin, wakil presiden bea cukai di Kuehne + Nagel International AG dalam postingan LinkedIn miliknya yang dikutip dari CNBC, Rabu (20/8/2025).
Menurut Departemen Perdagangan AS pada Selasa (19/8/2025) ada lebih dari 407 jenis produk yang termasuk dalam tarif baru.
“Tindakan hari ini memperluas jangkauan tarif baja dan aluminium serta menutup celah untuk penghindaran – mendukung revitalisasi berkelanjutan industri baja dan aluminium Amerika,” ujar Jeffrey Kessler, Wakil Menteri Perdagangan untuk Industri dan Keamanan, dalam sebuah pernyataan.
Dampak Kenaikan Tarif
Dalam rilis resmi, produk baru yang dikenakan tarif hanya disebut berdasarkan kode bea cukai, bukan nama produk. Misalnya, alat pemadam kebakaran ditulis sebagai “8424.10.0000,” sebuah kode 10 digit di antara ratusan kode lainnya. Hal ini menyulitkan publik untuk mengetahui secara pasti produk apa saja yang terkena luasnya tarif pada hari Senin.
Menurut para ahli dampak kenaikan tarif tersebut akan sangat besar.
“Menurut perkiraan saya, tarif baja dan aluminium kini mempengaruhi setidaknya USD 320 miliar atau sekitar Rp5,21 kuadriliun (dengan kurs estimasi Rp16.300/USD) Timpor berdasarkan nilai pabean umum impor tahun 2024,” tulis Jason Miller, profesor manajemen rantai pasok di Michigan State University, dalam unggahan LinkedIn miliknya.
“Hal ini akan menambah tekanan inflasi terhadap harga yang sudah naik yang dibebankan oleh produsen dalam negeri sebagaimana tercatat dalam data PPI bulan Juli,” lanjutnya.
Lawan Tarif Trump, India Potong Pajak Demi Pertumbuhan Ekonomi
Pasar saham India bergerak positif pada perdagangan Senin (18/8/2025) setelah Perdana Menteri, Narendra Modi, mengumumkan pemangkasan pajak yang dinilai memberi dorongan besar bagi perekonomian domestik di tengah tekanan tarif dari Amerika Serikat.
Indeks Nifty 50 naik 1%, sementara BSE Sensex menguat 0,84%. Di pasar valuta asing, nilai tukar dolar AS melemah 0,18% terhadap rupee.
Dikutip dari CNBC, Selasa (19/8/2025), dalam pidato Hari Kemerdekaan yang disampaikan Jumat lalu, Modi menekankan pentingnya kemandirian ekonomi dan mengumumkan sejumlah reformasi keuangan. Pemerintah India kini berencana memberlakukan struktur pajak barang dan jasa (GST) dua tingkat sebesar 5% dan 18%, menggantikan tarif lama 12% dan 28% untuk sejumlah barang.
Menurut India Brand Equity Foundation, langkah ini bertujuan menyederhanakan kepatuhan, menurunkan tarif pajak, sekaligus memodernisasi sistem GST agar lebih mendukung pertumbuhan.
Rasionalisasi Tarif
Para eksekutif industri mengharapkan langkah-langkah seperti merasionalisasi tarif menjadi dua lapisan, meringankan beban pajak bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), memangkas pungutan atas barang-barang penting, dan menggunakan proses berbasis teknologi seperti pengembalian pajak yang telah diisi sebelumnya dan pengembalian dana yang lebih cepat untuk mendorong investasi.
Industri yang diproyeksikan mendapat manfaat meliputi manufaktur, logistik, perumahan, serta barang konsumsi.
Sektor otomotif menjadi salah satu yang langsung merasakan dampaknya. Setelah penjualan mobil penumpang India hanya tumbuh 4,2% pada 2024—laju paling lambat dalam empat tahun—saham produsen kendaraan melonjak signifikan. Maruti Suzuki India naik 8,75% dan Hyundai Motor India menguat 8,15% pada sesi perdagangan Senin.
“Saya cukup optimistis dengan pengumuman ini. Sektor otomotif yang sebelumnya tertinggal wajar jika kini bangkit cukup kuat,” ujar James Thom, Senior Investment Director Asian Equities Aberdeen, dikutip CNBC.