Dari Tata Kelola, Energi Terbarukan, hingga Krisis Air di Batam Jadi Tantangan Pengoperasian Data Center di Indonesia

3 hours ago 4

Liputan6.com, Jakarta Pengoperasian data center di Indonesia kini menjadi salah satu pilar penting dalam pembangunan ekonomi digital nasional. Namun, di balik geliat investasi yang masif dan dukungan pemerintah terhadap transformasi digital, terdapat sejumlah tantangan struktural yang masih menjadi batu sandungan bagi keberlanjutan sektor ini.

Tidak hanya soal lahan atau tingkat permintaan (demand), tetapi juga menyangkut tata kelola (governance), kebijakan energi, hingga potensi dampak lingkungan seperti krisis air di wilayah prioritas seperti Batam.

Peneliti Ekonomi CSIS Indonesia, Ardhi R. Wardhana, mengungkapkan bahwa permasalahan utama justru terletak pada aspek-aspek yang sering kali luput dari perhatian publik, yakni tata kelola, mekanisme pengadaan energi terbarukan, serta kebijakan makroekonomi yang belum sepenuhnya mendukung transisi energi bersih.

Ardi menyoroti bahwa meskipun energi terbarukan kini telah kompetitif secara ekonomi dibandingkan energi fosil, kebijakan subsidi dan kompensasi pemerintah terhadap bahan bakar fosil masih menciptakan “artificial change” yang membuat energi fosil tampak lebih murah di pasaran.

Selain itu, isu lingkungan juga kian mendesak, terutama di Batam yang kini menjadi lokasi prioritas pembangunan data center nasional. Dengan keterbatasan sumber air bersih dan kapasitas water treatment yang minim, risiko krisis air dinilai bisa menghambat operasi dan menimbulkan konflik sumber daya dengan masyarakat sekitar jika tidak diantisipasi secara serius.

Governance dan Kebijakan Energi Masih Jadi PR Besar

Pada konferensi pers, Ardhi menjelaskan bahwa tantangan pertama yang perlu disorot adalah soal governance. Praktik tata kelola dalam pengelolaan energi dan data center di Indonesia dinilai masih belum optimal, terutama dalam hal perizinan dan koordinasi lintas lembaga.

“Pertama governance itu pasti kan, tadi governance sudah sekiranya kita tahu praktikitasnya seperti apa. Yang kedua secara teknis juga dari energi sendiri, tadi juga disebutin bahwa lahan yang salah satunya. Tapi sebenarnya selain lahan itu ada banyak perintilan lainnya juga," tutur Ardhi

Selain itu, dari sisi energi, Ardi menyoroti masih tingginya tingkat Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang membatasi fleksibilitas pengadaan teknologi energi terbarukan seperti panel surya (PV) dan sistem kelistrikan hijau lainnya. Meskipun telah terbit Permenperin No. 35 tahun 2025, aturan tersebut belum sepenuhnya mampu menstimulasi percepatan penggunaan energi hijau di sektor data center.

“Jadi sebenarnya salah satu yang juga menghambat, makanya tadi salah satu usulan kami kan adalah adanya graduated kan untuk TKDN. Jadi supaya ekosistem procurement itu juga terjaga gitu, supaya mereka juga ada insentif untuk bisa procure lebih banyak lagi Renewable Energy,” jelas Ardi.

Subsidi Energi Fosil Hambat Daya Saing Energi Terbarukan

Lebih jauh, Ardhi menegaskan bahwa akar masalah transisi energi di Indonesia terletak pada kebijakan makroekonomi yang masih memberi ruang besar bagi energi fosil. Ia menyebut adanya direct subsidies dan indirect subsidies, seperti skema Domestic Market Obligation (DMO) yang membuat energi fosil tetap mendominasi pasar karena harganya menjadi “artificially cheap”.

“Tapi yang membuat ini tidak akan jadi secara natural gitu kan, itu karena ada artificial change yang dilakukan oleh pemerintah, yang mana dikasih subsidi gitu kan. Nah yang direct subsidies dan kompensasi, itu kan sebenarnya menyebabkan fosil fuel itu lebih murah dibandingkan Renewable kuat-kuat kan,” jelasnya.

Kondisi ini menyebabkan para pelaku industri data center kesulitan untuk beralih sepenuhnya ke sumber energi hijau, meskipun secara teknologi dan efisiensi sudah memungkinkan.

Krisis Air di Batam Jadi Ancaman Baru

Selain isu energi, Ardhi juga menyoroti potensi krisis air yang dapat menjadi ancaman nyata bagi pengoperasian data center, khususnya di Batam. Wilayah ini dikenal memiliki keterbatasan pasokan air bersih dan infrastruktur water treatment yang belum memadai.

“karena memang di Batam sendiri kan sumber air lebih sulit, dan water treatment itu juga terlalu terbatas dibandingkan di sini Jawa,” ujarnya.

Ardi menyarankan agar pemerintah segera mendorong pembangunan water treatment plant tambahan di wilayah industri strategis dan memberikan insentif bagi pelaku usaha yang menggunakan teknologi hemat air atau sistem pendingin (cooling system) berbasis daur ulang.

"Cuman sebenarnya kalau menurut saya, apa yang penting untuk bisa dilakukan oleh pemerintah, misalkan untuk meminimalisasi at least penggunaan excessive water, itu adalah satu, menyediakan lebih banyak lagi water treatment ya di sana. Dan yang kedua, sebenarnya mengarahkan pelaku usaha untuk menggunakan teknologi yang tidak menggunakan air secara excessive," sebut Ardhi. "

Karena saat ini sebenarnya sudah ada beberapa teknologi juga tadi yang disebutkan salah satunya water immersion, itu sebenarnya ada recycling di situ, dan kayaknya sudah lebih dari 90 persen untuk penggunaan. Jadi yang lepas ke udara atau lepas ke luar itu aja 50 persen. Jadi 90 persen itu sudah tetap bisa direcycling, dan bisa di cooling down sendiri," tambahnya.

Teknologi pendingin mutakhir seperti water immersion cooling yang mampu mendaur ulang hingga 90 persen air, atau sistem berbasis coolant non-air.

“Dan juga di beberapa negara lain, ada juga yang menggunakan untuk coolingnya, ada juga menggunakan air laut,” tambahnya.

Kolaborasi Pemerintah dan Industri Jadi Kunci

Sebagai penutup, Ardhi menegaskan pentingnya sinergi antara pemerintah, pelaku industri, dan lembaga riset untuk memastikan keberlanjutan sektor data center di Indonesia. Menurutnya, kebijakan yang konsisten, dukungan teknologi ramah lingkungan, serta tata kelola yang transparan adalah fondasi agar ekosistem digital nasional dapat tumbuh tanpa mengorbankan lingkungan dan sumber daya alam.

“Nah teknologi yang paling baru adalah menggunakan bukan air biasa ya, tapi coolant, yang memang itu nggak perlu pakai water ground misalkan, atau air yang ada di lokasi tersebut, tapi harus pengandalan dari luar gitu," ucap Ardhi. "Nah itu bisa juga sebenarnya diarahkan ke teknologi itu, supaya dia tidak ganggu ground water, misalkan nggak ganggu ekosistem air di sekitarnya dan lain sebagainya. Mungkin itu sih sebenarnya yang bisa dilakukan oleh pemerintah,” pungkasnya.

Read Entire Article
Kaltim | Portal Aceh| | |