Liputan6.com, Jakarta - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menetapkan harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP) Maret 2025 di angka USD 71,11 per barel. Turun USD 3,18 dari ICP Februari 2025 yang tercatat USD 74,29 per barel. Penetapan harga minyak mentah Indonesia di Maret 2025 ini tertuang dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 143.K/MG.01/MEM/2025 tentang Harga Minyak Mentah Bulan Maret 2025 tanggal 16 April 2025.
Plt. Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama (KLIK) Chrisnawan Anditya menjelaskan, penurunan harga minyak mentah kali ini selaras dengan penurunan harga minyak global akibat kekhawatiran peningkatan tarif perdagangan Amerika Serikat (AS).
"Penurunan harga minyak mentah utama di pasar internasional salah satunya dipengaruhi oleh kekhawatiran peningkatan tarif perdagangan AS yang berpotensi mengganggu perekonomian global yang menurunkan permintaan minyak mentah," jelas Chrisnawan dalam keterangan tertulis, Kamis (17/4/2025).
Selain faktor tarif perdagangan AS, faktor lain yang memengaruhi penurunan harga minyak mentah utama di pasar internasional adalah sinyalemen OPEC+ untuk melanjutkan rencana peningkatan produksi minyak pada bulan April 2025, menyusul tekanan Presiden AS terhadap OPEC dan Arab Saudi untuk menurunkan harga.
"Tidak hanya itu, terdapat peningkatan stok minyak mentah komersial AS pada pertengahan Maret 2025 dibandingkan akhir Februari 2025, sebesar 3,2 juta barel menjadi 437 juta barel, sesuai dengan tren musiman, yaitu turunnya permintaan minyak oleh kilang pengolahan," urainya.
Di samping itu, tingkat pengoperasian kilang AS dan Eropa mengalami penurunan dan memasuki periode pemeliharaan berkala, sebagai persiapan menjelang summer driving season atau liburan musim panas yang akan meningkatkan konsumsi bahan bakar minyak.
Harga Minyak Mentah Utama
Sementara, untuk kawasan Asia Pasifik, penurunan harga minyak mentah juga dipengaruhi oleh kilang-kilang teapot Tiongkok, yang merupakan pembeli utama minyak-minyak mentah yang terkena sanksi. Kilang Tiongkok ini mulai menghentikan pembelian mereka untuk menilai dampak dan risiko dari sanksi yang akan dikenakan AS pada salah satu kilang independen Tiongkok yang membeli minyak Iran.
"Pelaku perdagangan minyak di Asia menahan diri untuk membeli minyak mentah Iran, dan menunggu perkembangan pembicaraan damai Ukraina-Rusia, yang berpotensi terjadinya pelonggaran sanksi untuk minyak mentah Rusia," imbuh Chrisnawan.
Perkembangan harga rata-rata minyak mentah utama pada Maret 2025 dibandingkan Februari 2025 mengalami penurunan sebagai berikut:
- Dated Brent turun sebesar USD2,55 per barel dari USD75,16 per barel menjadi USD72,60 per barel.
- WTI (Nymex) turun sebesar USD3,27 per barel dari USD71,21 per barel menjadi USD67,94 per barel.
- Brent (ICE) turun sebesar USD3,49 per barel dari USD74,95 per barel menjadi USD71,47 per barel.
- Basket OPEC turun sebesar USD2,81 per barel dari USD76,81 per barel menjadi USD74,00 per barel.
- Rata-rata ICP minyak mentah Indonesia turun sebesar USD3,18 per barel dari USD74,29 per barel menjadi USD71,11 per barel.
Harga Minyak Dunia Naik Lebih dari 1%, Ini Penyebabnya
Untuk diketahui, harga minyak dunia melonjak lebih dari USD 1 per barel pada Rabu (16/4) karena kekhawatiran terhadap pasokan global. Lonjakan harga minyak ini dipicu oleh sanksi baru yang diberlakukan oleh Amerika Serikat terhadap importir minyak Iran asal Tiongkok.
Dikutip dari CNBC, kamis (17/4/2025), kontrak berjangka Brent naik USD 1,18 atau 1,82% menjadi USD 65,85 per barel, sementara West Texas Intermediate (WTI) menguat USD 1,14 atau 1,86% dan ditutup pada level USD 62,47 per barel.
Pemerintah AS menargetkan ekspor minyak Iran dengan sanksi baru, termasuk terhadap salah satu kilang independen (teapot refinery) di Tiongkok. Langkah ini merupakan bagian dari strategi Presiden Donald Trump untuk menekan Teheran dan menghentikan ekspor minyak Iran secara total.
Di sisi lain, Iran menegaskan bahwa hak negara tersebut untuk memperkaya uranium tidak bisa dinegosiasikan. Menteri Luar Negeri Abbas Araqchi menyampaikan pernyataan ini menjelang putaran negosiasi nuklir berikutnya di Roma, Sabtu mendatang.
Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) mengungkapkan bahwa Irak, Kazakhstan, dan negara lain telah memperbarui rencana pemotongan produksi sebagai kompensasi karena sebelumnya melebihi kuota. Komitmen ini turut mendorong penguatan harga minyak dunia.
Di sisi lain, Administrasi Informasi Energi AS (EIA) melaporkan bahwa stok minyak mentah AS meningkat sebesar 515.000 barel menjadi 442,9 juta barel pada pekan yang berakhir 11 April. Angka ini sedikit di atas ekspektasi pasar yang memperkirakan kenaikan 507.000 barel. Namun, persediaan bensin dan distilat justru mengalami penurunan.
Sementara itu, Badan Energi Internasional (IEA) memperkirakan bahwa pertumbuhan permintaan minyak global pada 2025 akan menjadi yang paling lambat dalam lima tahun terakhir.
Ketegangan Perdagangan AS-Tiongkok
Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) memangkas tajam proyeksi perdagangan barang global dan memperingatkan bahwa tarif tambahan dari AS dapat memicu kemerosotan perdagangan terbesar sejak puncak pandemi COVID-19.
Presiden Trump meningkatkan tarif terhadap produk Tiongkok, yang langsung dibalas dengan bea masuk tambahan oleh Beijing. Analis menyebut bahwa masa depan ekonomi global sangat bergantung pada hasil negosiasi kedua negara adidaya tersebut.
Menurut laporan Bloomberg, Tiongkok menuntut rasa hormat lebih dari pemerintah Trump sebelum kembali ke meja perundingan. UBS menyatakan bahwa meredanya ketegangan dagang akan membantu menstabilkan prospek pertumbuhan ekonomi dan permintaan minyak.
Proyeksi Harga Minyak
Namun, sejumlah bank besar seperti UBS, BNP Paribas, dan HSBC telah menurunkan proyeksi harga minyak karena ketidakpastian yang berkepanjangan. Rystad Energy memperkirakan bahwa pertumbuhan permintaan minyak pada 2025 bisa melambat menjadi hanya 600.000 barel per hari—hampir separuh dari proyeksi sebelum ketegangan tarif.
Data terbaru menunjukkan bahwa ekonomi Tiongkok tumbuh 5,4% secara tahunan pada kuartal pertama, melampaui ekspektasi 5,1%. Namun, analis PVM Oil, Tamas Varga, memperkirakan pertumbuhan ini sulit bertahan sepanjang tahun.