Liputan6.com, Jakarta - Pasar global dalam beberapa waktu terakhir tengah diguncang oleh serangkaian kebijakan tarif impor baru Presiden Amerika Serikat Donald Trump, yang kini menetapkan 90 hari penangguhan sementara tarif lebih dari 100% terhadap China.
Sebagian negara mitra dagang AS telah melakukan pendekatan negosiasi dengan negara ekonomi terbesar tersebut seputar tarif baru, termasuk Indonesia.
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Fithra Faisal Hastiadi menyarankan bahwa Indonesia dapat menjadikan momentum dinamika tarif impor Trump untuk mengevaluasi kembali beberapa kebijakan perdagangannya.
Fithra menyoroti kebijakan kuota impor di Indonesia yang menurutnya tidak berorientasi pada surplus konsumen.
“Dari sisi import kuota, kalau kita yang pernah belajar international economics atau international trade, kita pasti sudah tahu bahwa import kuota menjadi salah satu trade policy yang paling buruk. Karena tidak hanya mengambil consumer surplus, tetapi dia juga ada biaya yang bukan diambil pemerintah tetapi oleh import license holder,” jelas Fithra dalam webinar diskusi bersama Center for Indonesian Policy Studies, Rabu (14/5/2025).
Ia menilai, import license holder pada prakteknya berisiko menimbulkan peluang korupsi.
“Kita kan tidak tahu mereka dapat license itu bagaimana caranya? Maka kemungkinan-kemungkinan rent seeking behavior di situ. Maka dari itu, kalau pun mau diperbaiki kebijakan tarifnya maka perlu diberi safeguard atau sebagainya,” jelas dia.
Pengamat: TKDN Perlu Dievaluasi
Fithra lebih lanjut juga mengatakan bahwa perlu ada evaluasi lebih lanjut pada kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN). Menurutnya, standar TKDN yang terlalu tinggi dapat menyulitkan beberapa industri.
Dalam beberapa kasus, TKDN ini justru secara paradoks membuat industri kita semakin kesulitan. Kalau dalam buku yang pernah saya tulis, Globalization Productivity and Production Network in ASEAN bahwa keberadaan dari TKDN yang terlalu tinggi justru menghambat kita untuk berpartisipasi dalam regional production network,” katanya.
“Jadi mungkin ya jalan tengahnya ke sektoral, agar TKDN itu bisa dibuat lebih liberal, tapi untuk sektor-sektor tertentu mungkin ya harus menyerap aspirasi juga daripada industri,” kata dia.
RI Duduki Peringkat 122 Indeks Hambatan Perdagangan Internasional 2025
Sebelumnya, Organisasi pendidikan asal Washington D.C, Amerika Serikat, Tholos Foundation menempatkan Indonesia di peringkat 122 Indeks Hambatan Perdagangan Internasional atau International Trade Barrier Index 2025.
Peringkat tersebut cukup rendah dibandingkan negara tetangga Indonesia di Asia dan Pasifik, dengan Vietnam dan Thailand juga berdiri di posisi rendah 117 dan 118, Filipina 116, China 114, dan India di peringkat 120.
Sementara itu, peringkat teratas diduduki oleh Hong Kong diikuti oleh Singapura di peringkat kedua, Israel (3) Kanada dan Jepang (peringkat 4 dan 5) serta Selandia Baru (6) dan Australia (7) serta Belanda (8), Inggris (9) dan Panama (10). Adapun Malaysia yang berdiri di posisi cukup tinggi di antara negara-negara Asia yaitu peringkat 36.
Sederet Faktor Hambatan Perdagangan Indonesia Menurut Tholos Foundation
Analis Kebijakan di Tholos Foundation, Philip Thompson menjelaskan bahwa Indeks Hambatan Perdagangan yang ia susun melihat tiga bentuk langsung hambatan perdagangan yang dihadapi suatu negara.
Hambatan tersebut mencakup hambatan nontarif, pembatasan layanan, serta hambatan pada fasilitasi hingga kinerja logistik, dan hak milik.
“Jadi, dalam hal tarif, Indonesia memiliki tarif rata-rata yang relatif tinggi. Jumlah lini tarif yang bebas bea rendah, terutama jika dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia. Pembatasan layanan menjadi yang paling tinggi. Ini adalah cara bisnis asing dapat berpartisipasi dalam industri tertentu,” kata Philip dalam kegiatan Innovation Summit Southeast Asia di Jakarta Pusat, Selasa (6/5/2025).
Sebagai informasi, Indeks Hambatan Perdagangan 2025 versi Tholos Foundation mengukur hambatan perdagangan langsung dan tidak langsung yang diberlakukan oleh 122 negara yang memengaruhi 97% PDB global dan 80% populasi dunia.