Pajak E-Commerce Tak Bisa Asal Tarik: Pakar Minta Pemerintah Bangun Sistem yang Inklusif

6 hours ago 5

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah Indonesia tengah menyiapkan kebijakan pajak baru bagi pelaku e-commerce. Kebijakan ini disebut bisa meningkatkan penerimaan negara serta menciptakan keseteraan perlakuan antara toko online dan offline.

Regulasi baru ini diperkirakan akan berdampak langsung pada sejumlah platform besar seperti TikTok Shop, Tokopedia, Shopee, Lazada, Blibli, dan Bukalapak.

Namun menurut Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik dari UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, penerapan pajak digital tidak boleh sekadar mengejar pemasukan.

“Pajak e-commerce bukan hanya soal memungut lebih banyak dari yang sedang berkembang,” kata Achmad ditulis Sabtu, (28/6/2025).

Ia menegaskan bahwa pajak harus menjadi alat pemerataan, bukan hanya alat pemungutan, yakni menciptakan kesetaraan fiskal antara yang konvensional dan digital, antara yang besar dan kecil, antara yang lokal dan global.

“Pajak harus menjadi instrumen pemerataan, bukan sekadar pemasukan,” ujarnya.

Di sisi lain ia juga mengingatkan, Indonesia saat ini berada di persimpangan jalan. Pemerintah bisa memilih jalur yang represif, memaksa tanpa kesiapan, atau mengambil langkah cerdas membangun sistem perpajakan digital yang inklusif, transparan, dan berbasis pada kepercayaan masyarakat.

Perbandingan dengan negara lain

Achmad menyebut, bahwa Indonesia tidak sendiri. Hampir seluruh negara di dunia tengah mencari cara untuk menyesuaikan sistem pajak mereka dengan ekosistem digital yang terus berkembang pesat.

Kata Achmad, beragam model telah dicoba oleh negara lain. India misalnya, mewajibkan platform seperti Amazon dan Flipkart untuk memotong 1% omzet penjual sebagai Tax Collected at Source (TCS). Di Uni Eropa, platform diposisikan sebagai “penjual semu” yang menarik Pajak Pertambahan Nilai (VAT) atas semua barang impor bernilai di bawah €150.

Di Kenya, model yang dipilih adalah mengenakan pajak langsung sebesar 3% atas seluruh pendapatan digital kepada perusahaan teknologi global.

Sementara itu, China lebih memilih pendekatan berbasis data mereka mewajibkan platform melaporkan transaksi penjual secara real-time, yang kemudian dicocokkan menggunakan sistem e-faktur dan big data.

Perlu Kesiapan Ekosistem Pajak Digital yang Matang

Lebih lanjut, Achmad mengingatkan bahwa tidak semua negara bisa menerapkan pendekatan agresif dalam pajak digital, terutama negara berkembang seperti Indonesia. Perbedaan kesiapan infrastruktur dan tingkat literasi pajak harus menjadi perhatian utama.

“Tugas kita adalah membangun sistem yang membuat patuh itu mudah, bukan menakutkan. Pajak yang adil bukan hanya soal tarif, tapi soal tata kelola yang menjangkau, merangkul, dan mengajak pelaku digital untuk turut serta membangun negeri,” ujarnya.

Menurutnya, hal itu bisa berujung pada kekacauan fiskal, membebani pelaku usaha kecil dan menengah, serta memicu penghindaran pajak secara masif.

Read Entire Article
Kaltim | Portal Aceh| | |