Target Pajak Naik 13% di 2026, Bakal jadi Mimpi di Siang Bolong?

3 weeks ago 28

Liputan6.com, Jakarta Pemerintah menargetkan penerimaan negara pada 2026 tumbuh hampir 10%, dengan porsi terbesar dari pajak yang dipatok naik 13%. Namun, di balik proyeksi ambisius tersebut, ada fakta yang sulit dihindari yakni tax ratio Indonesia masih stagnan di kisaran 10–12% sejak beberapa tahun terakhir.

"Pemerintah memaksa untuk meningkatkan penerimaan negara sebesar 10%. Dan itu utamanya ditopang oleh kenaikan penerimaan pajak yang kira-kira naik akan sebesar 13%. Ini jauh di atas rata-rata kenaikan 5-6% dalam beberapa tahun terakhir," kata Peneliti Senior CSIS, Deni Friawan, dalam Media Briefing CSIS RAPBN 2026: Menimbang Janji Politik di Tengah Keterbatasan Fiskal, Senin (18/8/2025).

Menurutnya, kondisi ini menunjukkan bahwa peningkatan penerimaan lebih bersifat nominal, bukan struktural. Dengan kata lain, meski target pajak digenjot, kontribusinya terhadap PDB tidak banyak berubah.

Stagnasi tax ratio menandakan keterbatasan pemerintah dalam memperluas basis pajak secara signifikan. Kenaikan target 13% justru dinilai terlalu ambisius jika tidak diiringi dengan reformasi fiskal yang mendalam.

Basis Pajak

Salah satu penyebab utama rendahnya tax ratio adalah basis pajak yang sangat sempit. Dari 145 juta penduduk usia kerja, hanya sekitar 17 juta orang yang rutin melaporkan dan membayar pajak. Artinya, mayoritas masyarakat belum masuk ke dalam sistem perpajakan.

"Basis pajak kita memang sangat kecil. Hanya 17 juta dari 145 juta orang yang usia kerja itu yang bayar pajak atau mengisi fom pajak," jelasnya.

Selain itu, 59% tenaga kerja Indonesia masih berada di sektor informal. Kondisi ini membuat pemerintah kesulitan menjangkau potensi pajak, karena sebagian besar aktivitas ekonomi tidak tercatat secara resmi.

Tak hanya individu, kepatuhan pajak perusahaan juga masih rendah. Baik UMKM maupun korporasi besar dinilai masih lemah dalam konsistensi membayar pajak sesuai aturan, memperburuk persoalan penerimaan negara.

Risiko Tekanan Fiskal Berlanjut

Di tengah keterbatasan basis pajak, pemerintah semakin bergantung pada intensifikasi fiskal. Penerapan Cortax dan perbaikan administrasi menjadi salah satu strategi. Namun, jika tidak hati-hati, kebijakan ini bisa menimbulkan “kelelahan fiskal” bagi dunia usaha maupun masyarakat.

Data lima tahun terakhir juga memperlihatkan tren yang mengkhawatirkan. Porsi penerimaan dari pajak naik drastis, dari 77% menjadi 86%, sementara PNBP dari sumber daya alam turun dari 23% menjadi 14%. Ketergantungan pajak makin tinggi, tetapi tax ratio tetap mandek.

"Dalam 5 tahun terakhir, porsi penerimaan perpajakan itu naik hampir 10 percentae poin dari 77% menjadi 86%. Sebaliknya PNBP dari hasil sumber daya alam itu malah turun dari 23% menjadi hanya 14% pada priode yang sama," ujarnya.

Beban Pajak Warga RI Diprediksi Makin Naik

Disisi lain, ia juga menyoroti terkait penyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang menyampaikan bahwa membayar pajak tidak berbeda jauh dengan kewajiban agama seperti zakat dan wakaf.

"Bu Sri Mulyani telah mengatakan bahwa kira-kira sebagian rezeki kita ada untuk pajak dan ada untuk sedekah," ujarnya.

Pernyataan ini menuai perhatian publik karena dianggap menggambarkan filosofi fiskal pemerintah bahwa sebagian penghasilan masyarakat harus dialokasikan untuk membiayai negara, dan sebagian lainnya untuk kepentingan sosial.

Menurut Deni, ungkapan itu mengandung makna bahwa pemerintah akan semakin gencar dalam meningkatkan penerimaan pajak. Intensifikasi perpajakan akan dilakukan, baik melalui perbaikan administrasi maupun penegakan kepatuhan wajib pajak.

Read Entire Article
Kaltim | Portal Aceh| | |