Liputan6.com, Jakarta - Presiden Prabowo Subianto telah menempatkan ketahanan energi sebagai salah satu agenda prioritas pemerintah. Dengan fokus kepada peningkatan produksi minyak dan gas bumi (migas), percepatan transisi energi bersih, dan subsidi energi tepat sasaran.
Secara keseluruhan, dukungan fiskal pemerintah di 2026 mendatang mencapai Rp 402,4 triliun untuk ketahanan energi. Dewan Energi Nasional (DEN) menilai, komitmen Prabowo dan pemerintah tersebut sudah on the right track untuk mencapai program swasembada energi.
Anggota DEN Abadi Poernomo optimistis Indonesia dapat mencapai target produksi 1 juta barel minyak per hari pada 2030. Sejalan dengan catatan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) soal adanya peningkatan lifting minyak sebanyak 4.000 barel per hari (bph), dari 576.000 bph pada pertengahan 2024 menjadi 580.000 bph pada periode yang sama di 2025.
"Peningkatan lifting minyak ini sudah on track untuk target 1 juta bph. Namun, memang masih ada kesenjangan antara kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) nasional yang mencapai sekitar 1,5 juta bph dengan hasil lifting. Kondisi ini pun akhirnya memaksa kita untuk masih impor, baik dalam bentuk minyak mentah maupun produk jadi BBM," ujarnya, Rabu (20/8/2025).
Untuk mengatasi masih adanya impor BBM ini, target produksi 1 juta bph menjadi sasaran utama untuk mencapai swasembada energi nasional. Abadi menilai, swasembada energi merupakan sebuah lompatan besar jika dibandingkan dengan sekadar ketahanan energi.
"Swasembada berarti seluruh kebutuhan energi primer nasional dapat dipenuhi dari sumber-sumber dari dalam negeri. Berbeda dengan ketahanan energi yang lebih berfokus pada ketersediaan pasokan tanpa memandang asalnya, termasuk dari impor," ungkapnya.
Reaktivasi Sumur Tua
Abadi menambahkan, SKK Migas telah menyiapkan sejumlah strategi untuk mendongkrak produksi gas. Dimulai dengan eksplorasi yang ekstensif untuk menemukan cadangan baru yang besar, hingga reaktivasi sumur-sumur tua yang tersebar di berbagai wilayah.
"Meskipun sumur-sumur tua mungkin hasilnya kecil-kecil, tetapi kalau banyak akan menjadi banyak juga," imbuh dia.
Optimalisasi lapangan-lapangan tua melalui teknologi Enhanced Oil Recovery (EOR) juga dapat memaksimalkan pengangkatan sisa minyak dari dalam reservoir. Ia juga mendorong adanya penemuan cadangan baru, sebab sumber daya fosil suatu saat akan habis.
Sebagai catatan, Prabowo sempat menyinggung besarnya pengeluaran Indonesia untuk impor migas. Dalam setahun, Indonesia mengimpor migas senilai USD 40 miliar atau sekitar Rp 650 triliun.
Peran Strategis Hulu Migas
Direktur Eksekutif Center for Energy Security Studies (CESS) Ali Ahmudi Achyak menyebutkan, di tengah perbincangan transisi energi, semua pihak harus tetap berpijak pada realitas. Pasalnya, porsi energi fosil dalam bauran energi nasional masih dominan yakni di atas 80 persen.
Ali mengatakan, transisi energi yang terburu-buru justru dapat membahayakan stabilitas ekonomi dan program hilirisasi yang sedang berjalan.
"Proses transisi energi harus berjalan mulus dengan mengombinasikan sumber daya fosil dengan energi terbarukan secara bertahap. Terlebih lagi, peningkatan produksi hulu migas bisa menjadi langkah konkret untuk mengurangi ketergantungan impor dan memperkuat fondasi energi nasional," tegasnya.
Upaya ini menuntut optimalisasi peran SKK Migas dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dalam mengatur dan mengelola lapangan-lapangan eksisting maupun mencari potensi cadangan baru.
Data SKK Migas menunjukkan, hingga pertengahan 2025, pengeboran sumur pengembangan sudah menyelesaikan 409 sumur atau meningkat 14 persen dibandingkan periode yang sama 2024 sebanyak 358 sumur. Kegiatan workover telah menyelesaikan 517 sumur atau meningkat 6 persen dan kegiatan well service mencapai 20.644 kegiatan atau naik 12 persen.
Butuh Dukungan Pemerintah
Ali mengingatkan, semua upaya tersebut tidak akan berjalan optimal tanpa dukungan penuh dari pemerintah. Ia menyoroti karakteristik industri hulu migas yang padat modal, padat teknologi, dan memiliki risiko yang sangat tinggi, baik dari sisi finansial, hukum, maupun keselamatan kerja.
"Dengan situasi seperti ini tidak banyak investor yang kemudian berani mengambil risiko. Agar investor ini berani maka pemerintah perlu memberikan kepastian hukum. Selain itu perlunya penyediaan insentif fiskal, seperti pemotongan pajak, untuk menarik lebih banyak minat para investor," pungkas Ali.