Tanpa Swasta, Likuiditas yang Digelontorkan Purbaya Tak Bakal Optimal

4 hours ago 6

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia sekaligus CEO Bakrie & Brothers, Anindya N Bakrie, menegaskan bahwa pergerakan ekonomi nasional tidak akan terjadi tanpa keterlibatan aktif para pelaku usaha.

Menurutnya, likuiditas yang mulai digelontorkan pemerintah harus segera dimanfaatkan untuk mendorong kegiatan ekonomi riil.

“Masyarakat tentu mendambakan adanya pergerakan ekonomi yang dibarengi dengan likuiditas yang sudah mulai digelontorkan di atas. Ini dibutuhkan suatu pelaku-pelaku untuk memanfaatkan ini. Karena tanpa pelaku-pelaku, ekonomi tidak akan bergerak,” ujar Anindya kepada wartawan usai menghadiri acara Forbes Global CEO Conference, di The St. Regis Jakarta, Selasa (14/10/2025)..

Ia menilai, likuiditas yang beredar harus dikonversi menjadi aktivitas produktif, terutama di sektor perdagangan, industri pengolahan, dan ekspor. Tanpa dukungan dunia usaha, efek pengganda dari kebijakan fiskal maupun moneter tidak akan optimal.

“Likuiditas itu bisa bermultiplikasi dengan pelaku. Jadi yang kami lakukan adalah bagaimana pelaku-pelakunya itu juga maju,” kata Anindya.

Lebih lanjut, Anindya menjelaskan Kadin mendorong pelaku usaha untuk memanfaatkan momentum ekspansi pasar global, terutama setelah dibukanya akses perdagangan dengan Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Kanada. Hal ini diharapkan dapat memperluas pasar ekspor sekaligus memperkuat pertumbuhan ekonomi berbasis investasi dan perdagangan.

Pemerintah Guyur Bank BUMN Rp 200 Triliun, Bermanfaat atau Berisiko?

Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik, UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menilai penempatan dana pemerintah sebesar Rp 200 triliun di bank-bank BUMN khusus untuk kredit sudah tepat, namun efektivitasnya menjadi pertanyaan.

"Tekad menyalurkan dana khusus ke kredit sudah tepat, tetapi efektivitasnya bergantung pada bagaimana kita mendesain pagar risiko, mengukur dampak, serta memastikan uang murah tidak tersedot ke zona nyaman kredit konsumtif," kata Achmad dalam keterangannya, Senin (15/9/2025).

Achmad mengatakan, permasalahannya bukan sekadar kekurangan dana, melainkan transmisi pembiayaan yang kurang menggigit. Ia menjelaskan, likuiditas perbankan relatif longgar rasio pendanaan terhadap kredit masih di kisaran delapan puluhan persen dan kualitas aset terjaga, namun laju pertumbuhan kredit belum sebanding dengan kebutuhan pemulihan ekonomi.

"Artinya, mesin ada tetapi pedal gas enggan diinjak. Dalam kondisi seperti ini, injeksi Rp 200 triliun ibarat menambah turbo pada mobil yang sedang ragu-ragu, dorongan ekstra bermanfaat bila jalan di depan jelas dan pengemudinya paham rute; jika tidak, tenaga besar justru meningkatkan risiko selip di tikungan," ujarnya.

Menurutnya, penempatan dana pemerintah Rp 200 triliun adalah peluang menggeser logika kredit dari “siapa cepat dia dapat” menjadi “siapa paling berdampak dia didukung”.

"Keberanian mengucurkan dana harus diiringi ketegasan rambu," imbuhnya.

Risiko Penempatan Rp 200 Triliun di Bank BUMN

Achmad menyebut terdapat beberapa risiko terkait penempatan dana Rp 200 triliun di bank BUMN. Pertama, adalah distorsi insentif. Dana murah mendorong bank mencari portofolio paling aman dan cepat, sering kali jatuh ke refinancing debitur besar atau kredit konsumsi, bukan ke UMKM pangan, koperasi desa, atau pengembang rumah sederhana yang memerlukan nurturing.

Risiko kedua adalah konsentrasi sektor. Penumpukan ke properti tanpa manajemen siklus bisa memantik volatilitas harga. Risiko ketiga adalah moral hazard di hulu “koperasi instan”, penyaluran berbasis kedekatan, atau pengadaan MBG yang tak transparan.

"Risiko keempat adalah pendanaan yang volatil. Jika dana pemerintah bersifat on call sementara kreditnya berumur panjang, tercipta mismatch maturitas yang menyandera stabilitas likuiditas bila terjadi penarikan mendadak," ujarnya.

Read Entire Article
Kaltim | Portal Aceh| | |