Liputan6.com, Jakarta - Dalam beberapa bulan terakhir, stabilitas harga beras menjadi perhatian utama pemerintah. Melalui Badan Urusan Logistik (Bulog), Badan Pangan Nasional (Bapanas), dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), beras stabilisasi pasokan dan harga pangan (SPHP) terus disalurkan agar harga beras di pasar tetap terkendali.
Saat melakukan inspeksi mendadak (sidak) di Pasar Rau, Serang, Banten, Rabu (20/8/2025), Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian menegaskan bahwa penyaluran beras SPHP secara masif membantu menekan kenaikan harga berbagai jenis beras.
"Harga beras relatif stabil. Tapi tadi banyak menyampaikan salah satu yang membuat harga stabil karena ada intervensi beras SPHP yang berasal dari Bulog," ujar Tito di Pasar Induk Rau, dalam keterangannya, Jumat (22/8/2025).
Beras SPHP di pasar tersebut dijual Rp 12.500 per kilogram. Dengan kemasan 5 kilogram, harga per paket menjadi Rp 62.500. Bulog sendiri menargetkan penyaluran 1,3 juta ton beras SPHP sepanjang Juli–Desember 2025.
HET Beras Berbeda di Tiap Wilayah
Harga Eceran Tertinggi (HET) untuk beras medium dan premium ditetapkan berbeda-beda di setiap daerah. Misalnya, di Jawa, Lampung, dan Sumatera Selatan, HET beras medium sebesar Rp 12.500 per kilogram. Sementara di Aceh, Sumatera Utara, dan beberapa wilayah lain, HET mencapai Rp 13.100 per kilogram.
Untuk beras premium, di Kalimantan harga batas atas ditetapkan Rp 15.400 per kilogram, sedangkan di Maluku dan Papua lebih tinggi, yakni Rp 15.800 per kilogram.
Peran Kepala Daerah dalam Distribusi Beras
Mendagri Tito meminta seluruh kepala daerah aktif menjalin kerja sama dengan cabang Bulog di wilayahnya masing-masing. Hal ini penting untuk mempercepat penyaluran beras SPHP dan menjaga kestabilan harga di daerah.
"Bulog kan punya cabang-cabang di semua provinsi dan kota. Kepala daerah harus proaktif datangi Bulog dan BUMD bidang pangan untuk bisa membantu penyaluran beras SPHP," tegas Tito.
Ia menambahkan, kontribusi daerah dalam memasok pangan tidak hanya mendukung kebijakan nasional, tetapi juga memperkuat kemandirian pangan di tingkat lokal. "BUMD bidang pangan harus dioptimalkan sebisa mungkin," ujarnya.
Pentingnya Peran Pemda
Pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Khudori, menilai pemerintah daerah bisa berperan lebih besar sebagai stabilisator harga beras. Salah satunya dengan meminta cabang Bulog di daerah melakukan operasi pasar bila harga naik signifikan.
Namun, ia menekankan mekanisme ini tetap membutuhkan persetujuan Bapanas melalui rapat koordinasi terbatas (rakortas) bersama Menko Pangan. "Jadi, pemda tidak bisa langsung minta Bulog operasi pasar," jelas Khudori, Kamis (21/8/2025).
Menurutnya, operasi pasar sangat penting dilakukan, terutama di daerah non-produsen beras seperti kawasan Indonesia Timur. “Pemda harus melakukan operasi setiap saat,” katanya.
Selain itu, pemda juga bisa menggerakkan BUMD bidang pangan sebagai penyangga. Ia mencontohkan Pemprov DKI Jakarta dengan Food Station yang menyalurkan beras subsidi.
“Memang upaya ini memerlukan anggaran. Berhubung anggaran DKI Jakarta cukup besar, itu bisa dilakukan. Tetapi bagi daerah produsen beras yang surplus seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan, bisa menjadi stabilisator beras,” tambahnya.
Pengelolaan Cadangan Beras
Khudori juga menilai pemda dapat berperan sebagai pengawas distribusi beras. “Selama ini yang terjadi, jika ada dugaan penyelewengan langsung ditindak aparat penegak hukum. Padahal, pemda bisa lebih dulu memberikan peringatan,” ujarnya.
Lebih jauh, ia menyebut pemda bisa mengelola cadangan beras dengan menyerap gabah dari petani lokal, meski hal itu membutuhkan anggaran besar. “Jika stok yang tersedia kurang, pemda bisa beli ke Bulog. Bulog selain punya tanggung jawab pelayanan sosial, juga punya peran komersial,” ungkapnya.
Khudori menutup dengan menekankan kompleksitas persoalan beras. “Produsen tengah berjibaku dengan kenaikan harga gabah kering yang menembus Rp 6.500 per kg, bahkan di beberapa tempat mencapai Rp 8.000 per kg. Sementara itu, HET beras yang ditetapkan pemerintah sering kali tidak menutup ongkos produksi beras,” jelasnya.