Liputan6.com, Jakarta - Seorang CEO sekaligus miliarder yang sebelumnya mendukung Donald Trump kini justru mengkritik keras kebijakan presiden terkait bank sentral Amerika Serikat (AS) atau Federal Reserve (The Fed).
Bos Hedge Fund Citadel, Ken Griffin memperingatkan bahaya campur tangan politik terhadap bank sentral Amerika Serikat. Demikian mengutip dari CNN, Selasa (9/9/2025).
Dalam artikel opini yang dimuat Wall Street Journal pada Minggu dengan judul "Trump's risky game with The Fed", Griffin menyebut Trump berisiko memicu kenaikan suku bunga jangka panjang dan inflasi lebih tinggi dengan merusak independensi The Fed.
"Strategi presiden yang mengkritik The Fed secara terbuka, menyarankan pemecatan pimpinan bank sentral, dan menekan bank sentral untuk mengadopsi sikap lebih longgar terhadap inflasi bisa membawa konsekuensi berat," tulis Griffin bersama Profesor Chicago Booth Business School dan konsultan departemen riset Chicago Fed, Anil Kashyap.
Griffin dan Kashyap kompak memperingatkan karena sejarah menunjukkan strategi ini bisa menjadi bumerang. Mereka mencontohkan tekanan era Nixon terhadap The Fed pada 1970-an yang memicu krisis Stagflasi Besar.
"Dalam skenario terburuk, jika The Fed terlihat tunduk pada tekanan politik dan membiarkan inflasi naik tak terkendali, puluhan juta pensiunan Amerika akan melihat tabungan mereka berkurang," tulis keduanya.
Griffin bahkan memprediksi dampak politiknya. "Pemilih senior yang lelah menanggung beban inflasi bisa merugikan pemerintahan ini di pemilu paruh waktu," tulisnya.
Klaim Gedung Putih vs Data Lapangan
Menanggapi kritik tersebut, juru bicara Gedung Putih Kush Desai membela kebijakan Trump dalam pernyataan kepada CNN.
"Tujuan yang dinyatakan Federal Reserve adalah menetapkan kebijakan moneter berdasarkan data, dan data jelas menunjukkan bahwa kebijakan pemerintahan Trump telah dengan cepat mengendalikan krisis inflasi Joe Biden," kata Desai.
Dia menilai, presiden dan pasar keuangan memiliki pandangan jelas The Fed harus merespons dengan memotong suku bunga untuk memberikan keringanan pada rakyat Amerika sembari mendukung pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja.
Trump sendiri berargumen jika inflasi ternyata menjadi masalah, The Fed selalu bisa kembali menaikkan suku bunga.
Namun kenyataanya, klaim Gedung Putih Trump telah ‘mengendalikan’ inflasi tidak sejalan dengan data statistik yang ada.
Para pengamat memperkirakan indeks harga konsumen di hari Kamis akan menunjukkan kenaikkan sebesar 2,9% year-over-year di bulan Agustus. Angka ini naik dari 2,7% pada Juli dan 2,5% pada titik yang sama tahun lalu.
Inflasi Meningkat
Data tersebut menunjukkan inflasi justru terus meningkat, bukan mereda seperti yang diklaim pemerintahan Trump.
Peringatan Griffin ini terbilang langka di kalangan CEO Amerika. Lantaran, sebagian besar pemimpin bisnis memilih untuk tidak melakukan kritik publik terhadap presiden. Bahkan, tak sedikit yang justru berusaha mencari simpati Trump.
Beberapa CEO bank besar memang pernah membela independensi Fed musim panas lalu. Namun, mereka menghindari menyebut nama Trump secara terang-terangan dalam kritik mereka.
Griffin, yang mengaku turut memilih Trump dalam pemilu November lalu, sebenarnya sudah berulang kali mengkritik kebijakan pemerintahan ini. Terutama soal perang dagang yang dilancarkan Trump.
Menjadi Bumerang
Trump memang telah tanpa lelah mengecam Jerome Powell, ketua Fed yang justru dia tunjuk sendiri. Powell kemudian diangkat kembali oleh mantan Presiden Joe Biden.
Beberapa pengamat Fed khawatir Trump bisa mencoba memberikan "makeover MAGA" pada bank sentral AS. Tujuannya untuk menggunakan pengaruh lebih besar terhadap kebijakan suku bunga.
Pekan lalu, Menteri Keuangan Scott Bessent bahkan berargumen Fed harus dibebaskan dari tugasnya mengatur perbankan Amerika. Alasannya, bank sentral AS ini dinilai telah menyimpang dari misi intinya.
Dalam artikel opini di Wall Street Journal, Griffin dan Kashyap menyatakan kekhawatiran campur tangan Trump terhadap Fed akan menjadi bumerang setidaknya dalam dua cara.
Pertama, suku bunga yang diturunkan karena tekanan politik bisa memicu pertumbuhan ekonomi berlebih. Akibatnya, inflasi akan memburuk di saat jajak pendapat menunjukkan bahwa rakyat masih frustrasi dengan mahalnya biaya hidup.
Hilangnya Kepercayaan
Kedua, hilangnya kepercayaan investor terhadap komitmen Fed untuk menjaga stabilitas harga. Dampaknya, biaya pinjaman jangka panjang akan naik lebih tinggi, baik untuk pemerintah maupun rakyat terutama bagi mereka yang mengambil KPR.
"Meski AS mendapat manfaat dari kredibilitas besar yang dibangun selama puluhan tahun ini, bukan berarti hal tersebut tak terbatas," tulis Griffin dan Kashyap. "Jika terkikis, pasar akan menuntut suku bunga yang jauh lebih tinggi untuk hutang jangka panjang."
Keduanya berargumen bahwa demi ‘kepentingan terbaik’ presiden sendiri, Fed harus dipandang sebagai lembaga yang independen dan benar-benar bertindak independen.
Hal ini dilakukan dengan membebaskan pimpinan Fed dalam membuat pilihan tidak populer namun perlu, seperti menaikkan suku bunga drastis untuk melawan inflasi. Itulah yang dilakukan Powell, pimpinan Fed, pada 2022 ketika harga-harga meroket, meski terlambat.
"Kredibilitas dalam pembuatan kebijakan ekonomi dibangun secara perlahan, melalui praktik dan proses dengan menghormati aturan yang ada," tulis Griffin dan Kashyap. Mereka menambahkan bahwa kredibilitas tersebut bisa hilang dalam sekejap jika proses dan ‘aturan main’ tersebut diabaikan.