Selain Harga Minyak Dunia Naik, Ini Dampak Perang Israel Iran

4 hours ago 4

Liputan6.com, Jakarta - Konflik berkepanjangan antara Israel dan Iran mungkin lebih dari sekadar mengguncang pasar energi. Salah satu pernyataan di wall street, konflik Israel Iran dapat mendorong bank sentral Amerika Serikat (AS) atau the Federal Reserve (the Fed) untuk memangkas suku bunga lebih cepat dari yang diharapkan.

"Kenaikan harga minyak yang berkelanjutan dapat menyebabkan the Fed bersikap lebih lunak,” tulis Oxford Economics Chief US Economist Ryan Sweet seperti dikutip dari Yahoo Finance, Rabu (18/6/2025).

Ia menilai, guncangan minyak yang berkepanjangan dapat mengurangi permintaan dan berpotensi meluas ke pasar tenaga kerja yang tangguh.

Hal itu karena secara historis, lonjakan harga minyak yang tiba-tiba cenderung hanya menyebabkan kenaikan inflasi sementara yang biasanya diabaikan oleh the Federal Reserve (the Fed). Namun, dengan ekonomi yang sudah melemah, lonjakan yang terus menerus dapat menimbulkan ancaman lebih besar terhadap pertumbuhan dan lapangan kerja daripada inflasi itu sendiri.

"Ekonomi telah melambat dan rentan terhadap hal lain yang salah, termasuk kenaikan harga minyak yang tiba-tiba dan terus menerus,” ujar Sweet.

“Jika the Fed melihat pukulan terhadap ekonomi dan pasar tenaga kerja lebih besar daripada dorongan sementara terhadap inflasi, bank sentral dapat memberi sinyal kalau mereka terbuka untuk memangkas suku bunga lebih cepat,” ia menambahkan.

The Fed Bakal Pangkas Suku Bunga

Pada Selasa pekan ini, harga minyak melonjak dengan patokan harga minyak Brent naik di atas USD 75 per barel. Hal ini setelah Presiden AS Donald Trump meminta warga Teheran untuk mengungsi dan menolak gagasan gencatan senjata Israel Iran. Harga minyak West Texas Intermediate (WTI) bertahan di posisi USD 74.

Hal itu bertolak belakang dengan optimisme pada Senin pekan ini, ketika Wall Street Journal melaporkan ketegangan antara Iran dan Israel telah mereda, memicu reli di saham AS dan menstabilkan harga minyak mentah menyusul lonjakan harga terbesar pekan lalu dalam tiga tahun.

Sweet memperkirakan the Fed akan memangkas suku bunga pertama pada Desember. Hal ini perlu waktu berminggu-minggu sebelum pasar memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang arah harga minyak.

Sementara the Fed mampu bersabar, Sweet menuturkan, kenaikan harga minyak yang signifikan dan berkelanjutan dapat mempercepat pemangkasan suku bunga. Hal ini karena dampak terhadap ekonomi yang lebih sulit diperbaiki dari pada menunggu percepatan inflasi utama.

"Ini adalah topik hangat yang potensial pada pertemuan Komite Pasar Terbuka Federal atau FOMC mendatang, tetapi tidak pada minggu depan,” ia menambahkan.

Dampak ke Inflasi

Meski demikian, dampak inflasi merupakan sisi lain dari kenaikan harga minyak. Analis wall street juga memperingatkan konflik yang berkepanjangan dan potensi penutupan Selat Hormuz yang kritis dapat mendorong harga minyak mencapai USD 130 per barel, mendorong inflasi AS ke kembali ke 6%.

Hal ini juga akan mendorong harga gas lebih tinggi yang telah menjadi faktor utama dalam tren deflasi selama beberapa bulan terakhir. Menurut laporan CPI Mei terbaru, harga gas telah turun 12% selama setahun terakhir. Indeks energi pemerintah turun 1% dari bulan ke bulan dalam pembacaan terbaru.

Jika tren itu berbalik, ekonom memperingatkan lonjakan inflasi yang tajam dapat menunda pemotongan suku bunga hingga awal 2026.

Hal ini karena bank sentral seimbangkan mandat untuk stabilitas harga dan optimalkan lapangan kerja. Sementara itu, the Fed juga cenderung fokus pada metrik inflasi yang mengecualikan kategori yang mudah berubah seperti energi, ada kekhawatiran biaya energi lebih tinggi dapat menyebabkan efek berantai melalui rantai pasokan dan mengakibatkan kenaikan harga barang dan jasa lainnya.

"Anda melihat skenario yang berpotensi lebih stagflasi dari itu," ujar Ekonom Senior Bank of America Stephen Juneau.

Ancaman Ekonomi Terbesar

Perang Israel Iran dapat menganggu pasar energi dan rute perdagangan di kawasan tersebut. Hal ini akan berdampak luas secara global.

Timur Tengah merupakan produsen minyak terbesar ketiga di kawasan itu, setelah Arab Saudi dan Irak. Meskipun ada sanksi internasional atas ekspor minyak, Iran masih mengirimkan minyak mentah dalam jumlah signifikan ke China dan India. Demikian mengutip dari DW, ditulis Rabu, (18/6/2025).

Analis Barclays Amarpreet Singh memperingatkan dalam sebuah catatan penelitian bahwa dalam skenario terburuk, "konflik dapat meluas ke produsen minyak dan gas utama lainnya di kawasan tersebut, dan pengiriman."

Semua mata kini tertuju pada Selat Hormuz, jalur air sempit antara Iran, Uni Emirat Arab, dan Oman, titik kritis utama bagi perdagangan minyak global. Jika jalur tersebut ditutup, seperti yang telah diancamkan Iran beberapa kali, kapal tanker minyak akan terdampar dan harga minyak dapat melonjak lebih tinggi lagi.

Sekitar seperlima dari total konsumsi minyak dunia melewati selat tersebut — sekitar 18-19 juta barel per hari, menurut Badan Informasi Energi AS (EIA).

Harga minyak memengaruhi harga yang dibayar konsumen untuk segala hal mulai dari bahan bakar hingga makanan.

Selain itu, Chief Analyst Xeneta Research, Peter Sand menuturkan, pengalihan rute lebih lanjut akan menaikkan tarif pengiriman. Operator akan mendorong biaya tambahan keamanan pada perdagangan ini.

Read Entire Article
Kaltim | Portal Aceh| | |