Liputan6.com, Jakarta - Ekonom prediksi dampak terbesar akibat tarif dagang Amerika Serikat (AS) terhadap inflasi belum akan terjadi.
Prediksi dampak tarif terhadap inflasi ini juga seiring dengan perkiraan Goldman Sachs. Goldman Sachs telah dikritik karena prediksi inflasi konsumen lebih tinggi akibat tarif akan terjadi. Dampak tarif itu akan terasa seiring perusahaan kurang bersedia menanggung biaya lebih tinggi dari bea masuk. Konsumen akan semakin merasakan dampaknya sepanjang sisa tahun ini.
“Tarif dapat mengurangi 1% dari Produk Domestik Bruto (PDB) dan menambah 1-1,5% inflasi, beberapa di antaranya telah terjadi,” kata Ekonom JPMorgan Chase, Michael Feroli
Ia menuturkan, ada ketidakpastian yang cukup besar dampak tarif impor AS terhadap harga konsumen. Hal ini mengingat kenaikan tarif tahun ini jauh lebih besar dari apapun yang terjadi di Amerika Serikat setelah perang.
Inflasi Bakal Tinggi
Sebagian besar ekonom prediksi akan ada kenaikan harga yang stabil seiring munculnya kejelasan tarif. Tampaknya tren penurunan inflasi inti telah terhenti karena tarif mulai memengaruhi harga eceran,” tulis ekonom senior UBS, Brian Rose.
Kenaikan Inflasi Bertahap
Ia mengatakan, pihaknya perkirakan inflasi bakal terus naik secara bertahap seiring bisnis meneruskan biaya lebih tinggi. Namun, melambatnya inflasi akibat kebijakan perlindungan dan penolakan dari konsumen yang semakin tertekan akan membantu mengimbangi sebagian dampak tarif.
Tidak ada yang memprediksi inflasi yang tak terkendali, lebih seperti kenaikan bulanan 0,3%-0,5%. Itu cukup mendorong ukuran inflasi inti yang disukai the Federal Reserve di kisaran 3%.
Selain itu, apapun percepatannya nanti, hal itu diperkirakan tidak akan menghalangi the Fed untuk mulai menurunkan suku bunga setelah tidak melakukan intervensi sepanjang 2025.
Ekonom prediksi, pasar tenaga kerja yang memburuk bersama dengan keyakinan pergerakan inflasi akan bersifat sementara sehingga memungkinkan kebijakan moneter lebih longgar.
Namun, dalam jangka pendek, kenaikan inflasi dapat menghambat belanja konsumen dan pertumbuhan hingga sisa tahun ini.
Prediksi JPMorgan
JPMorgan memprediksi dampak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang dua pertiganya berasal dari konsumsi akan sedikit di bawah 1%.
Laporan indikator ekonomi blue chip untuk Agustus yang mensurvei nama-nama ekonomi terkemuka di wall street prediksi pertumbuhan rata-rata Produk Domestik Bruto (PDB) hanya 0,85% pada semester II 2025.
Namun, angka itu lebih baik dari perkiraan 0,75% pada Juli. Hal ini seiring sejumlah pihak mengubah pandangannya mengenai efek pembatasan tarif diperkirakan bersifat sementara. Hal ini karena pertumbuhan yang diproyeksikan membaik secara signifikan tahun depan.
Kekhawatiran pada Masa Depan
Penyebab kekhawatiran dalam waktu dekat termasuk berakhirnya pengecualian tarif de minimis pada 29 Agustus yang memungkinkan barang-barang senilai di bawah USD 800 untuk masuk ke Amerika Serikat (AS) tanpa bea masuk. Hal ini terutama dapat berdampak ke barang-barang ritel.
Kekakuan Inflasi
Pantheon Macroeconomics memperkirakan kenaikan 1 poin persentase inflasi inti pada akhirnya akan mencapai 3,5% pada akhir tahun.
"Sejauh ini, hanya sekitar seperempat dari kenaikan tersebut yang telah dirasakan konsumen, jadi kami melihat peluang kuat harga barang inti akan naik lebih cepat dalam beberapa bulan mendatang," kata perusahaan tersebut.
BNP Paribas memperkirakan kenaikan harga tidak akan terjadi pada barang karena survei terbaru "menunjukkan tekanan ke atas pada harga input jasa."
"Kekhawatiran utama The Fed tentang inflasi bukanlah tingkat inflasi yang tepat, melainkan lebih pada pertanyaan tentang kekakuan inflasi," demikian dari catatan perusahaan tersebut
"Data [IHK] bulan Juli, dengan kekuatan yang mengejutkan pada jasa inti, oleh karena itu bukanlah kabar baik yang meyakinkan."