Respons Pengusaha Saat Buruh Minta Upah 2026 Naik hingga 10%

2 weeks ago 17

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bidang Ketenagakerjaan, Bob Azam menanggapi tuntutan buruh yang meminta kenaikan upah minimum pada 2026 sebesar 8,5% hingga 10,5%.

Dia menuturkan, yang lebih penting bukan sekadar besaran persentase kenaikan upah, melainkan bagaimana daya beli buruh tetap terjaga.

Bob menekankan, kenaikan upah akan berdampak langsung pada kondisi ekonomi pekerja jika tidak dibarengi dengan pengendalian harga barang kebutuhan pokok.

"Yang penting bukan naik 8,5% atau 10% tapi bagaimana daya beli buruh dapat di pertahankan atau bahkan dinaikkan. Artinya harga kenaikan barang perlu dikendalikan," kata Bob Azam kepada Liputan6.com, Rabu (20/8/2025).

Ia mengingatkan, seruan kenaikan upah dengan angka tinggi justru dapat memicu kenaikan harga barang di pasaran. Hal ini dikhawatirkan akan menggerus kembali kemampuan daya beli buruh, meski upah sudah naik.

"Jadi, kalau belum apa-apa kita teriak naik 10% ini bisa mempengaruhi psikologis harga juga yang akan ikut-ikutan naik," ujarnya.

Buruh Minta Kenaikan Upah Minimum hingga 10% pada 2026

Sebelumnya, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, menegaskan tuntutan kenaikan upah minimum 2026 sebesar 8,5 persen hingga 10,5 persen bukan asal-asalan.

Dasarnya jelas, yakni mengacu pada data inflasi resmi pemerintah. Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 168/2024, periode penghitungan inflasi bukan Januari–Desember 2025, melainkan Oktober tahun sebelumnya hingga September 2025.

"Tentu ada alasannya menuntut kenaikan upah minimum sebesar 8,5 - 10,5 persen di tahun 2026. Kami menggunakan data Pemerintah yang menyatakan untuk mengukur kenaikan upah minimum itu menggunakan data inflasi pertumbuhan ekonomi dan indeks tertentu," kata Said Iqbal dalam konferensi pers, Rabu (20/8/2025).

Mengacu data BPS

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), inflasi dari Oktober 2024 hingga Juli 2025 tercatat 2,66 persen. Untuk Agustus–September 2025, data resmi memang belum keluar.

Namun, Litbang KSPI menggunakan metode regresi untuk memperkirakan tambahan inflasi minimal 0,6 persen pada dua bulan tersebut. Dengan demikian, total inflasi dalam periode yang relevan mencapai 3,26 persen. Angka ini kemudian dijadikan salah satu komponen penting dalam menghitung kenaikan upah minimum 2026.

KSPI menegaskan, perhitungan tersebut sudah sesuai formula pemerintah sendiri, bukan asumsi sepihak dari serikat pekerja.

Said Iqbal menambahkan, jika pemerintah tetap konsisten pada formulanya, maka data inflasi yang sudah dihitung KSPI otomatis menjadi acuan dalam menentukan kenaikan upah. Karenanya, angka dasar 3,26 persen inflasi adalah pondasi awal tuntutan buruh.

3 Alasan Buruh Tuntut Upah Minimum Naik 10,5% pada 2026

Sebelumnya, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menjelaskan sejumlah alasan yang mendasari tuntutan kenaikan upah minimum 2026 sebesar 8,5 persen hingga 10,5 persen. Alasan pertama adalah konsistensi dengan data resmi pemerintah.

Menurut Presiden KSPI Said Iqbal, baik inflasi maupun pertumbuhan ekonomi semuanya bersumber dari BPS. Putusan MK juga menegaskan bahwa perhitungan upah minimum harus mengacu pada ketiga variabel yakni, inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan indeks tertentu.

"Alasan pertama kami menggunakan data Pemerintah yang menyatakan untuk mengukur kenaikan upah minimum itu menggunakan data inflasi pertumbuhan ekonomi dan indeks tertentu sesuai keputusan Mahkamah Konstitusi nomor 168 tahun 2024 yang di menangkan gugatannya di MK oleh KSPI KSPS," kata Said dalam konferensi pers, Rabu (20/8/2025).

Jika ketiga variabel itu dijumlahkan, maka kenaikan upah minimum wajar berada pada angka minimal 8,5 persen. Hal ini membuktikan bahwa buruh tidak asal menuntut, melainkan berdasarkan formula yang sama dengan pemerintah.

Menurut KSPI, tuntutan ini sebenarnya menunjukkan konsistensi buruh terhadap kebijakan negara. Mereka hanya meminta pemerintah menegakkan aturan yang sudah dibuat, bukan menciptakan rumus baru yang bisa merugikan pekerja.

Dengan begitu, buruh ingin menunjukkan bahwa kenaikan upah 8,5 persen bukan hanya permintaan normatif, melainkan hasil hitung-hitung resmi menggunakan data negara.

Ekonomi Tumbuh, Upah Harus Ikut Naik

Alasan kedua adalah karena ekonomi Indonesia sedang menunjukkan tren positif. Dalam pidato kenegaraan 15 Agustus 2025, Presiden Prabowo menyebut angka pengangguran menurun dan tingkat kemiskinan turun. Bahkan, pertumbuhan ekonomi kuartal II naik menjadi 5,12 persen dari kuartal I.

Bagi buruh, logikanya sederhana jika ekonomi tumbuh, maka upah pekerja juga harus ikut tumbuh. Tidak adil jika pertumbuhan hanya dirasakan pengusaha dan pemilik modal, sementara pekerja tidak mendapat bagian.

"Kalau kami memakai logika yang disampaikan Pemerintah sendiri dalam pidato kenegaraan, karena ekonomi baik maka kenaikan upah harus baik, ketemulah 8,5 persen minimal," ujarnya.

Daya Beli Lemah Kenaikan Upah Jadi Solusi

Alasan ketiga, buruh menyoroti turunnya daya beli masyarakat dalam beberapa tahun terakhir. Said Iqbal menyebut banyak pusat perbelanjaan yang sepi, okupansi hotel rendah, hingga penjualan kendaraan bermotor dan semen stagnan. Semua indikator itu menunjukkan konsumsi rumah tangga sedang melemah.

Padahal, konsumsi rumah tangga merupakan penyumbang terbesar dalam perekonomian Indonesia. Jika konsumsi terus melemah, pertumbuhan ekonomi nasional akan sulit mencapai target. Karena itu, upah buruh yang layak dianggap sebagai kunci menggerakkan roda konsumsi kembali.

"Dengan menaikkan upah layak maka konsumsi naik, pertumbuhan ekonomi naik, maka pengangguran turun, dan kemiskinan turun, sehingga sesuai dengan target Presiden. Itulah 3 alasan mengapa kami menolak upah murah," pungkasnya.

Read Entire Article
Kaltim | Portal Aceh| | |