Produsen akan Diwajibkan Kelola Sampah Plastik dari Kemasan Produk

1 day ago 10

Liputan6.com, Jakarta - Produsen akan diwajibkan untuk bertanggung jawab mengelola sampah kemasan dari produknya. Hal ini sebagai bagian dari upaya menekan timbulan sampah plastik di Indonesia.

Hal itu disampaikan Menteri Lingkungan Hidup (LH)/Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH) Hanif Faisol Nurofiq saat peringatan Hari Lingkungan Hidup 2025 di Jakarta, Kamis (2/5/2025), seperti dikutip dari Antara.

Ia mengatakan, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) akan segera memanggil produsen terkait rencana meningkatkan Extended Producer Responsibility (EPR) atau tanggung jawab produsen yang diperluas.

"Di negara maju ini sudah merupakan mandatory, kita masih voluntary. Kita mau tingkatkan dari voluntary menjadi mandatory. Artinya kalau kamu memproduksi 5 ton maka 5 ton itu yang wajib kamu tangkap," ujar Menteri LH Hanif Faisol.

Untuk itu KLH tengah merancang perubahan terkait Peta Jalan Pengurangan Sampah Oleh Produsen karena ketaatan produsen yang belum optimal. Hal itu dilakukan bertepatan dengan berakhirnya Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga (Jakstranas).

Dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 97 Tahun 2017 tentang Jakstranas ditargetkan 30 persen pengurangan sampah dan 70 persen penanganan sampah pada 2025. Namun pengelolaan sampah baru mencapai 39,01 persen pada tahun ini.

Prosesnya sendiri melalui pembahasan antar-Kementerian/Lembaga (K/L) serta sosialisasi dan diskusi dengan para pemangku kepentingan.

"Kita minta bulan Agustus paling lambat (selesai), rencana kebijakan strategis nasional terkait dengan penanganan sampah bisa kita selesaikan," tutur Menteri LH Hanif Faisol.

Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) milik KLH melaporkan dari 34,2 juta ton sampah pada 2024 berasal dari 317 kabupaten/kota, sebanyak 19,74 persen diantaranya adalah sampah plastik.

Kata Pebisnis Hotel dan Restoran di Bali soal Larangan Menjual Air Minum Kemasan Plastik di Bawah 1 Liter

Sebelumnya, menegaskan alarm darurat polusi plastik, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali mengeluarkan Surat Edaran Gubernur Bali Nomor 9 Tahun 2025 yang melarang produksi dan penjualan air minum kemasan plastik di bawah satu liter. Bagaimana tanggapan pebisnis hotel dan restoran yang notabene terdampak ketetapan tersebut?

Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Badung, IGN Rai Suryawijaya, menyebut bahwa pada dasarnya, pihaknya mendukung upaya pengurangan sampah plastik di Bali. "Tapi, memang harus ada alternatif maupun solusi yang ditawarkan," katanya melalui sambungan telepon pada Lifestyle Liputan6.com, Selasa (15/4/2025).

"Kalau di hotel," ia melanjutkan. "Sebenarnya kami sudah melakukan itu (pengurangan volume limbah plastik). Sejak beberapa tahun, kami tidak menyediakan lagi air minum dalam kemasan lagi. Kami ganti dengan botol, nanti bisa di-refill (di hotel) oleh tamu."

Cara ini, menurut Rai, tidak hanya mendukung lingkungan, namun juga mengurangi biaya operasional. "(Hotel) menghemat sekitar 10─15 persen (karena menyediakan air isi ulang, alih-alih air minum dalam kemasan)," ujar dia.

Dukungan serupa dinarasikan Pemilik Bebek Tepi Sawah, Nyoman Sumerta. "Secara pribadi, saya memang sudah peduli dengan sampah. Saya ikut banyak aksi anti-sampah plastik sejak 90-an, dan prinsip minim sampah sudah diterapkan di keluarga," ungkapnya saat dihubungi melalui telepon, Selasa.

Maka itu, ia mendukung langkah Pemprov Bali dalam memerangi "monster plastik." Terlebih, adaptasi bisnisnya untuk mengurangi sampah plastik sekali pakai sudah dimulai sebelum SE Gubernur yang disebutkan di atas terbit.

Alternatif yang Tidak Jadi Beban Lingkungan

Nyoman berkata, "Kami jual air minum dalam kemasan kaca, bukan plastik. Secara harga lebih mahal, dan ada sata satu-dua komplen pelanggan. Wajar, kami kasih pengertian. Tapi dari, misalnya, 200 konsumen, yang komplain paling hanya satu-dua orang."

Dimulai dari lokasi restoran mereka di Ubud, air minum dalam kemasan kaca itu sudah dijual di seluruh cabang mereka di Bali. "Tidak menutup kemungkinan juga ini dilakukan di cabang-cabang kami di luar Bali," ujar dia. "Tapi untuk sekarang, kami coba terapkan di Bali dulu sambil mendengar masukan-masukan dari pelanggan."

Menyadari harga air mineral dalam kemasan kaca lebih mahal, Nyoman berkata, pihaknya masih terus berupaya mencari alternatif lebih ekonomis tanpa menambah beban lingkungan. "Kami ingin bisa membahagiakan tamu tanpa plastik," ia mengungkap.

Nyoman berkata, "Bali itu Pulau Surga, harus indah, jangan sampai ada sampah. Kita harus berpikir jangka panjang, bagaimana anak cucu kita di masa depan tetap bisa menikmati pariwisata Bali." Dalam rangkaian dukungannya, restoran ini akan menjual tumbler yang bisa dipakai sendiri maupun jadi oleh-oleh.

Tak Hanya soal Sampah Plastik

Selain menekan jumlah sampah plastik, Bebek Tepi Sawah juga mengelola sampah organik mereka melalui Tebo Modern. Itu merupakan perluasan konsep "Teba" tradisional, yaitu lubang kompos yang diadaptasi untuk pengelolaan sampah organik secara mandiri.

"Kami pilah sampah juga yang (pengelolaannya) bekerja sama dengan pemerintah desa maupun Dinas Lingkungan Hidup setempat," ia menyebut.

Langkah serupa pun dilakukan pebisnis hotel. "Sementara pengelolaan air limbah dilakukan mandiri oleh setiap hotel, pengelolaan sampah yang sudah dipilah biasanya dilakukan bersama masyarakat adat. Tamu juga sebenarnya kalau sudah disosialisasikan mau (ikut memilah sampahnya) walau tetap ada saja satu-dua oknum yang enggan," kata Rai.

Sebelum ini, para pengusaha hotel juga telah menginisiasi gerakan bersih-bersih lingkungan, terutama di sekitar properti mereka. "Hotel-hotel di dekat pantai, misalnya, punya program bersih-bersih pantai seminggu atau dua minggu sekali," beber dia. "Kalau ada sampah juga kesannya hotel jadi kumuh, jadi tidak bagus di mata tamu."

Read Entire Article
Kaltim | Portal Aceh| | |