PHK 1.800 Pekerja secara Ilegal, Qantas Kena Denda Rp 949 Miliar

3 weeks ago 24

Liputan6.com, Jakarta - Pengadilan Australia menjatuhkan denda sebesar AUD 90 juta atau sekitar Rp 949,14 miliar (dengan estimasi kurs Rp10.545/AUD) kepada maskapai Qantas.

Sanksi ini diberikan lantaran perusahaan terbukti melakukan pemutusan kerja secara ilegal terhadap lebih dari 1.800 pegawai darat pada masa pandemi COVID-19.

Serikat Pekerja Transportasi Australia menyatakan keputusan tersebut merupakan kemenangan penting. Mereka menilai, putusan ini menjadi rekor denda terbesar yang pernah dijatuhkan kepada perusahaan dalam sejarah Australia.

Hakim Pengadilan Federal, Michael Lee, dalam putusannya menegaskan besaran denda Qantas tersebut dimaksudkan sebagai “efek jera” bagi perusahaan lain agar tidak melakukan pelanggaran serupa.

Dalam pernyataannya, Qantas menyatakan siap membayar denda tersebut. Pihak maskapai juga mengakui keputusan pengadilan telah menuntut mereka bertanggung jawab atas tindakan yang menimbulkan “kerugian nyata” bagi para pekerja.

"Kami dengan tulus meminta maaf kepada 1.820 karyawan penanganan darat dan keluarga mereka yang menderita akibat kejadian ini," kata CEO Qantas Group, Vanessa Hudson.

Keputusan untuk melakukan outsourcing lima tahun lalu, khususnya di tengah situasi penuh ketidakpastian, telah membawa dampak besar bagi mantan karyawan dan keluarga mereka.

Hadapi Proses Hukum Bertahun-tahun

Sebagai maskapai terbesar di Australia, Qantas sudah bertahun-tahun menghadapi proses hukum terkait kebijakannya pada 2020 yang mengalihkan pekerjaan staf darat ke pihak ketiga. Saat itu, perusahaan beralasan langkah tersebut diperlukan demi menjaga stabilitas finansial karena industri penerbangan lumpuh akibat pandemi.

Pengadilan memerintahkan Qantas membayar denda sebesar AUD 50 juta (Rp527,18 miliar) langsung kepada Serikat Pekerja Transportasi, yang menggugat maskapai terkait pemutusan hubungan kerja tersebut.

Serikat pekerja menyebut keputusan ini sebagai "akhir dari pertarungan lima tahun antara David dan Goliath” sekaligus "momen keadilan bagi para pekerja setia yang telah mencurahkan pengabdian mereka pada maskapai.”

Besaran denda itu pun mendekati sanksi maksimum yang dapat dijatuhkan atas pelanggaran undang-undang ketenagakerjaan di Australia.

Alasan Hakim Beri Denda

Hakim Lee menegaskan, besarnya denda yang dijatuhkan bertujuan agar perusahaan-perusahaan besar lain tidak beranggapan bisa “lolos” melakukan pelanggaran serupa, sekalipun mereka menilai risikonya sebanding dengan keuntungan yang diperoleh.

Dalam dokumen persidangan, ia juga menyoroti budaya perusahaan Qantas. Ia mencatat strategi hukum maskapai yang dinilai “agresif dan tanpa henti” sebagai indikasi upaya menghindari kewajiban membayar kompensasi kepada para pekerja, padahal sebelumnya perusahaan sempat menyatakan bersimpati pada mereka.

Pada 2021, pengadilan menyimpulkan Qantas melakukan praktik alih daya sebagian tenaga kerjanya dengan tujuan membatasi potensi aksi mogok. Sebagian besar pekerja yang terdampak PHK kala itu merupakan anggota serikat buruh.

Denda Menambah Beban Qantas

Denda yang dijatuhkan kali ini menambah beban kewajiban Qantas, setelah sebelumnya perusahaan setuju membayar kompensasi sebesar AUD 120 juta atau sekitar Rp1,27 triliun pada 2024 kepada para pekerja yang diberhentikan, usai kalah dalam sejumlah proses banding.

Kasus pemecatan ilegal tersebut menjadi salah satu dari serangkaian skandal yang menimpa maskapai dalam beberapa tahun terakhir.

Pada 2024, misalnya, Qantas juga dijatuhi denda AUD 100 juta atau sekitar Rp1,05 triliun karena terbukti menjual tiket untuk ribuan penerbangan yang sebenarnya sudah dibatalkan.

Read Entire Article
Kaltim | Portal Aceh| | |