Liputan6.com, Jakarta - Departemen Pertahanan Amerika Serikat (As) membeli saham baru senilai USD 400 juta atau sekitar Rp 6,49 triliun (estimasi kurs Rp 16.300/USD) pada Juli 2025 serta memperoleh waran untuk membeli saham tambahan di perusahaan tambang tanah Jarang yakni MP Materials.
Sebagai bagian dari kesepakatan itu, Departemen Pertahanan juga menandatangani perjanjian 10 tahun untuk membeli magnet tanah jarang dari MP Materials guna mendukung instrumen perang masa depan. Demikian mengutip dari BBC, Kamis (21/8/2025).
MP Materials dipilih karena mengoperasikan satu-satunya tambang tanah jarang di AS, berlokasi di Mountain Pass, Gurun Mojave, California. Perusahaan ini mengekstraksi, memurnikan, dan memisahkan unsur seperti neodimium dan praseodimium, yang penting untuk pembuatan magnet pada kendaraan listrik, drone, sistem pertahanan, robotika, turbin angin, hingga teknologi canggih lainnya.
Saham MP Materials naik 150 persen sejak Departemen Pertahanan AS mengucurkan investasi USD 400 juta. Lonjakan ini mendongkrak kekayaan pendiri sekaligus CEO James Litinsky yang diperkirakan memiliki kekayaan mencapai USD 1,2 miliar atau sekitar Rp 19,48 triliun.
Kekayaan itu berasal dari kepemilikan 8 persen saham MP Materials senilai USD 1 miliar (Rp 16,23 triliun) serta lebih dari USD 200 juta (Rp 3,25 triliun) dalam bentuk tunai dan investasi eksternal, menurut Forbes.
Keuntungan MP Materials
Litinsky, mantan manajer hedge fund, mengambil alih tambang Mountain Pass pada 2017 setelah kebangkrutan Molycorp Minerals. Ia kemudian mendirikan MP Materials pada 2018 dan membawa perusahaan tersebut melantai di bursa pada 2020. Produksi tambang tercatat sudah meningkat lebih dari tiga kali lipat sejak beroperasi kembali.
Litinsky, dikenal bukan sebagai raja tambang pada umumnya. Lulusan Yale serta pemegang gelar JD dan MBA dari Northwestern University ini memulai karier di Fortress Group sebelum mendirikan hedge fund JHL Capital pada 2006. Pada 2014, perusahaannya membeli obligasi bermasalah senilai USD 20,5 juta (Rp 333,5 miliar) milik Molycorp Minerals, pemilik lama tambang Mountain Pass pada 2014.
Saat Molycorp bangkrut, Litinsky mengubah obligasi itu menjadi kepemilikan penuh atas tambang yang sempat terbengkalai. Dengan tambahan pendanaan USD 50 juta (Rp 813,5 miliar) dari investor Tiongkok, ia berhasil menghidupkan kembali tambang tersebut pada 2018. MP Materials kemudian melantai di bursa lewat SPAC pada 2020, dengan produksi yang kini meningkat lebih dari
Di tengah perang dagang AS–Tiongkok, MP Materials justu mendapat keuntungan besar karena Tiongkok mendominasi pasar logam tanah jarang dengan menguasai 90 persen pemrosesan dan 95 persen produksi magnet. Sementara itu, AS masih mengimpor hampir 7.000 ton logam tanah jarang per tahun dari China.
China Memanfaatkan Ketergantungan AS pada Tanah Jarang
Litinsky, mantan manajer hedge fund, mengambil alih tambang Mountain Pass pada 2017 setelah kebangkrutan Molycorp Minerals. Ia kemudian mendirikan MP Materials pada 2018 dan membawa perusahaan tersebut melantai di bursa pada 2020. Produksi tambang tercatat sudah meningkat lebih dari tiga kali lipat sejak beroperasi kembali.
China memanfaatkan ketergantungan AS pada magnet tanah jarang sebagai alat tawar-menawar dengan Trump. Setelah tarif baru diumumkan pada April, Beijing mewajibkan lisensi ekspor magnet, sehingga ekspor ke AS menurut 59 persen pada April dan 93 persen pada Mei, menurut laporan Wall Street Journal Krisis ini justru mendorong lonjakan permintaan domestik bagi MP Materials.
"Rasa urgensinya, saya belum pernah melihat yang seperti ini," ujar Litinsky kepada Forbes pada April.
Ironisnya, MP Materials yang kini menjadi simbol kemandirian industri Amerika Serikat sempat bertumpu pada dukungan China . Pada 2017, Shenghe Resources, perusahaan tanah jarang asal Chengdu dengan sebagian saham dikuasai pemerintah China, membantu membiayai kebangkitan MP Materials.
Pelanggan Lainnya
Shenghe membeli konsentrat tanah jarang senilai USD 50 juta (sekitar Rp813,5 miliar) untuk mendukung pembersihan tambang Mountain Pass dan memperoleh 8,4 persen saham.
Hingga tahun lalu, Shenghe menjadi pelanggan terbesar perusahaan dengan kontribusi 80 persen dari total pendapatan USD 204 juta (sekitar Rp 3,32 triliun). Namun, dinamika itu berubah cepat. Menyusul “Hari Pembebasan” tarif dari Trump dan balasan Beijing, MP Materials mengumumkan akan menghentikan pengiriman produknya ke Tiongkok dan mengalihkan fokus ke pasar lain.
Semual hal tersebut memang merugikan, tetapi harga tanah jarang yang terus melemah menjadi pukulan berat bagi MP Materials. Setelah mencatatkan rekor laba bersih USD 290 juta (sekitar Rp4,71 triliun) pada 2022, keuntungan perusahaan anjlok ke USD 24 juta (Rp390 miliar) pada 2023 dan berbalik rugi USD 65 juta (Rp1,05 triliun) tahun lalu.
Kas Perseroan
Kendati demikian, posisi keuangan MP Materials masih relatif solid. Perusahaan mencatat kas dan setara kas USD 750 juta (Rp12,20 triliun) serta memperluas basis pelanggan domestik, termasuk General Motors. Dukungan pemerintah di tengah tensi dagang dengan Tiongkok juga menjadi faktor penguat.
Saham MP Materials kini diperdagangkan di atas USD 73 atau sekitar Rp1,18 juta per lembar yang menjadi level tertinggi sepanjang masa. Dari 11 analis yang memantau, diantaranya memberikan peringkat Beli untuk saham tersebut, sementara empat lainnya memberikan peringkat Tahan.
Meski bukan ahli pertambangan, James Litinsky berhasil mengubah investasi USD 20,5 juta pada obligasi bermasalah menjadi MP Materials dengan valuasi USD 13 miliar. Ia menyebut strategi membeli aset kelas dunia dengan harga diskon sebagai kunci kesuksesannya.
"Jika Anda dapat membeli aset kelas dunia dengan harga diskon dari biaya penggantian di akhir siklus keberuntungan akan menemukan Anda," ujarnya kepada Forbes tahun lalu.