Liputan6.com, Jakarta Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia sekaligus CEO Bakrie & Brothers, Anindya N Bakrie, menilai kebijakan tarif 100 persen yang diberlakukan Amerika Serikat kepada China tidak harus dipandang sebagai ancaman.
Sebaliknya, langkah tersebut bisa menjadi momentum bagi Indonesia untuk memperkuat hilirisasi sumber daya mineral dan meningkatkan nilai tambah ekspor.
“Saya nggak bisa bilang ini peluang dalam kesempitan. Tapi Indonesia punya mineral kritis banyak yang kita butuhkan cuma satu saja. Jangan nggak diolah di sini. Mau diolah setengah-setengah? Ayo. Tapi kita juga butuh nilai tambahnya,” ujar Anindya kepada wartawan usai menghadiri acara Forbes Global CEO Conference, di The St. Regis Jakarta, Selasa (14/10/2025).
Menurutnya, kebijakan tarif yang lebih tinggi bisa memicu negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia, untuk memperkuat ketahanan industrinya sendiri melalui pengolahan bahan baku di dalam negeri. Ia mencontohkan keberhasilan Indonesia dalam mengubah ekspor nikel mentah menjadi produk bernilai tinggi seperti stainless steel.
“Kita selalu bicara mengenai nikel 1 miliar dolar. Dikirim gelondongan, misalnya ini nggak diolah. Tapi setelah diolah bisa 35 miliar dolar. Hanya dalam jangka waktu 10 tahun,” jelas Anindya.
Anindya menekankan strategi hilirisasi tidak hanya meningkatkan nilai ekspor, tetapi juga memperkuat posisi tawar Indonesia dalam perdagangan global. Karena itu, Kadin mendorong percepatan pembangunan kawasan industri yang mampu menampung investasi pengolahan mineral seperti bauksit, tembaga, dan seng.
Ternyata Barang Ini Pemicu AS Berang Lagi ke China dan Saling Ancam
Sebelumnya, Beijing menyatakan siap mengambil langkah balasan terhadap Washington bila Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, ingin benar-benar memberlakukan tarif baru sebesar 100 persen untuk produk impor asal China.
Ancaman tarif impor terbaru Trump muncul setelah China memperketat ekspor mineral tanah jarang (rare earth) pekan lalu. Ketegangan ini dikhawatirkan menggagalkan kemajuan berbulan-bulan dalam perundingan dagang kedua negara.
“Menggunakan ancaman tarif tinggi bukanlah cara yang tepat untuk berkomunikasi dengan China,” ujar juru bicara Kementerian Perdagangan China, melansir CNN, seperti dikutip Selasa (14/10/2025).
Ini menjadi pernyataan pertama Beijing menanggapi ancaman tersebut. “Jika AS tetap bertindak sepihak, China akan dengan tegas mengambil langkah yang diperlukan untuk menjaga hak dan kepentingan sah kami,” lanjutnya.
“Sikap kami terhadap perang tarif tidak berubah — kami tidak menginginkannya, tetapi kami juga tidak takut akan hal itu.”
Memanasnya tensi perdagangan antara dua ekonomi terbesar dunia ini langsung mengguncang pasar saham, memicu kekhawatiran terulangnya perang tarif saling balas seperti musim semi lalu, ketika bea impor kedua negara melonjak hingga sekitar 145 persen dan 120 persen.
Situasi China-AS Semakin Memanas
Situasi ini juga menambah ketidakpastian pada jalannya perundingan dagang. Trump dan Presiden China, Xi Jinping, dijadwalkan bertemu di Korea Selatan dalam dua minggu mendatang, namun Trump meragukan pertemuan itu akan terlaksana dengan alasan kebijakan tanah jarang.
China tidak menunjukkan tanda akan mundur. Kementerian mendesak Washington untuk “segera memperbaiki langkah yang keliru” dan “menjaga kemajuan negosiasi yang telah susah payah dicapai.”
China menyebut kebijakan baru soal tanah jarang sebagai “langkah sah” dan menuding AS sebagai pihak yang memicu eskalasi terbaru.
Dalam dua pekan setelah putaran perundingan di Madrid pada bulan September, pemerintahan Trump memperkenalkan sejumlah aturan restriktif terhadap China.
Sejak saat itu, AS menambahkan sejumlah perusahaan China ke daftar ekspor terlarang, memperluas cakupan hingga anak perusahaan yang terdaftar, serta menerapkan biaya khusus di pelabuhan terhadap kapal berbendera China.
“Tindakan AS sangat merugikan kepentingan China dan merusak suasana perundingan ekonomi dan dagang bilateral. China sangat menentang langkah-langkah tersebut,” tegas juru bicara kementerian perdagangan.