Liputan6.com, Jakarta - Rencana pemerintah untuk menghapus beras premium dan beras medium menjadi beras umum (reguler) dinilai belum menyelesaikan persoalan mendasar tata kelola beras. Langkah ini kemungkinan hanya solusi jangka pendek untuk merespons isu beras oplosan di pasaran.
“Rencana ini berpotensi untuk menambah tinggi harga beras di tingkat konsumen. Tingginya harga tidak dirasakan petani, mereka tidak mendapatkan keuntungan nyata dari peningkatan harga ini,” jelas Peneliti dan Analis Kebijakan Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Rahmad Supriyanto, dalam keterangan tertulis, Selasa (19/8/2025).
Permasalahan utama adalah bagaimana membuat ongkos produksi beras lebih efisien dan meningkatkan produktivitas, sehingga produksi domestik meningkat dan kualitas beras bisa bersaing di pasar.
Studi Institut Pertanian Bogor (IPB) 2022 menyebut ongkos produksi beras per kilogram hingga panen mencapai Rp 4.626–Rp 5.026, mendukung temuan IRRI 2016 yang menunjukkan biaya produksi beras di Indonesia 2–2,5 kali lebih tinggi dibanding Thailand dan Vietnam.
Saat ini, pemerintah memberlakukan fleksibilitas Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah kering panen (GKP) sebesar Rp 6.500 per kilogram, lebih tinggi Rp 1.000 dibanding HPP 2023, berlaku untuk Bulog maupun swasta.
Meski demikian, penggabungan nomenklatur beras premium dan medium dipandang hanya sebagai langkah sementara karena beberapa regulasi masih lemah.
Aturan Mutu Beras
Peraturan BPOM untuk beras produksi lokal belum seketat beras impor, sementara Peraturan BPOM No. 31/2018 tentang Label Pangan Olahan tidak mewajibkan produsen mencantumkan label dan izin edar pada beras. Peraturan Badan Pangan Nasional No. 2/2023 sudah mengatur mutu beras, tetapi belum ada turunan yang mewajibkan produsen beras premium mematuhi standar mutu tersebut.
“Dibutuhkan penyesuaian regulasi untuk memastikan produsen menjamin mutu beras yang dihasilkannya. Beras premium harus memenuhi standar mutu ketat karena banyak dikonsumsi kelas menengah atas, sementara kenaikan harga beras medium akan langsung mempengaruhi kalangan menengah bawah,” terang Rahmad.
Rahmad menambahkan, kebijakan yang mendorong intensifikasi dan modernisasi pertanian jauh lebih efektif. Alih-alih menetapkan harga acuan, pemerintah bisa membuka investasi di sektor pertanian beras, memberikan insentif bagi penggiling dan produsen, serta mendorong adopsi teknologi untuk efisiensi produksi.
Ia menegaskan, HPP yang terlalu tinggi justru memicu beras oplosan, pasar gelap, dan risiko kelangkaan. Petani seringkali harus menjual beras di bawah ongkos produksi, sementara Bulog menghadapi kesulitan menyerap beras karena keterbatasan anggaran dan persaingan harga pasar.
Beras Satu Harga, Zulhas: Keputusan di Tangan Presiden
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan (Zulhas), menyatakan akan segera melaporkan rencana perubahan harga eceran tertinggi (HET) beras kepada Presiden Prabowo Subianto. Perubahan ini bertujuan menyederhanakan klasifikasi mutu beras dari dua jenis—premium dan medium—menjadi hanya “beras reguler” dan “beras khusus.”
Menurut Zulhas, pemerintah telah menggelar rapat koordinasi untuk membahas penetapan beras satu harga. Namun, keputusan final tetap memerlukan persetujuan Presiden.
“Kami sudah rapat, tentu nanti kami akan laporkan ke Presiden dulu,” ujar Zulhas di Jakarta, dikutip dari Antara, Rabu (13/8/2025).
Zulhas memastikan HET terbaru sudah dirumuskan, tetapi belum bisa dipublikasikan sebelum dilaporkan secara resmi.
“Sudah (ada HET), tapi belum bisa diumumkan sebelum melaporkan ke Presiden,” tambahnya.
Beras Isu Sensitif, Kebijakan Harus Seimbang
Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas), Arief Prasetyo Adi, menegaskan bahwa penyesuaian HET beras tidak boleh dilakukan terburu-buru. Menurutnya, beras adalah komoditas sensitif yang menyentuh kebutuhan 280 juta penduduk Indonesia.
“Kelihatannya cuma naikin Rp 100, Rp 200, Rp 500, tapi ini untuk 280 juta orang. Jadi nggak boleh salah dalam memutuskan,” kata Arief.
Ia menambahkan, kebijakan harga beras harus seimbang antara kepentingan hulu (petani) dan hilir (konsumen).
Bapanas telah menyerahkan beberapa alternatif skema HET kepada Menko Pangan. Selanjutnya, keputusan akhir akan diambil oleh Presiden bersama Menko Pangan.
“Saya kasih beberapa alternatif. Silakan Pak Presiden putusin sama Pak Menko,” tutup Arief.