Liputan6.com, Jakarta - Pengamat Transportasi, Djoko Setijowarno menyebut Pelabuhan Tanjung Priok perlu ditata kembali. Menyusul adanya macet panjang hingga 8 kikometer di sekitar Tanjung Priok.
Djoko menilai, masalah utama penyebab macet karena tidak adanya area penyangga atau buffer zone. Menurutnya, jarak pelabuhan ke permukiman terlalu dekat.
"Kawasan Pelabuhan Tanjung Priok harus ditata ulang termasuk area penyangga (buffer zone) antara pelabuhan dengan lingkungan pertokoan dan pemukiman harus ada jarak minimal 1 km daerah buffer zone harus bebas dari bangunan," kata Djoko dalam keterangannya, Minggu (20/4/2025).
Dia menyarankan, tata letak Pelabuhan Tanjung Priok harus kembali ke kawasan asli pelabuhan zaman Hindia Belanda dengan batas pelabuhan itu Cempaka Mas dan sampai ke timur.
Dia menceritakan, penumpukan kendaraan di jalan raya di sekitar lokasi bongkar muat logistik itu seharusnya bisa diantisipasi dengan penggunaan moda transportasi lain. Misalnya, kata dia, menggunakan kereta api.
"Di sisi lain, kemacetan parah yang terjadi juga jadi pembelajaran bagi semua pihak untuk lebih mengedepankan angkutan barang berbasis rel dibanding jalan raya," ucapnya.
"Sebenarnya, di zaman Belanda, jalur rel sudah terhubung dengan dermaga. Tujuannya, agar alur angkutan barang bisa lebih lancar. Namun, kini hampir semua jalur itu diputus. Tersisa hanya di Pelabuhan Tanjung Intan (Cilacap)," imbuhnya.
Akses Penyangga Pelabuhan
Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat itu mengungkapkan banyak pelabuhan dilengkapi dengan area penyangga di setiap titiknya. Terutama pelabuhan di masa Belanda.
Diantaranya, Pelabuhan Belawan di Medan, Pelabuhan Teluk Bayur di Padang, Pelabuhan Panjang di Lampung. Lalu, Pelabuhan Tanjung Priok di Jakarta, Pelabuhan Tanjung Emas di Semarang, Pelabuhan Juwana di Pati, serta Pelabuhan Tanjung Perak di Surabaya.
"Sekarang area penyangga itu telah berubah fungsi menjadi pemukiman dan perumahan," tegasnya.
Kendaraan Logistik Terlalu Lama Dibatasi
Sebelumnya, kemacetan hingga 8 kilometer di sekitar Pelabuhan Tanjung Priok mengundang perhatian publik. Antrean kendaraan itu dikaitkan dengan pembatasan operasional logistik saat periode libur mudik lebaran 2025.
Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat, Djoko Setijowarno mengatakan kemacetan yang terjadi imbas pemerintah salah ambil langkah.
"Kejadian itu merupakan dampak dari kesalahan kebijakan yang diterapkan pemerintah," kata Djoko dalam keterangannya, Sabtu (19/4/2025).
Misalnya, 16 hari pembatasan angkutan logistik dipandang terlalu lama. Menurutnya, paling ideal pembatasan aktivitas logistik dilakukan kurang dari satu pekan.
"Pada angkutan Lebaran, pemerintah terlalu lama membatasi (aktivitas) operasional logistik, bahkan sampai 16 hari. Pembatasan operasional angkutan logistik semestinya tidak boleh lebih dari lima hari," tuturnya.
Bongkar Muat Menumpuk
Djoko mengatakan, semakin panjangnya aktivitas logistik dibatasi, maka semakin lama pula aktivitas bongkar muat dari pelabukan. Penumpukan barang yang harus dibongkar semakin banyak, alhasil mengganggu alurnya.
"Kondisi itu menyebabkan bongkar muat di pelabuhan menumpuk, bahkan tersendat. Kondisi ini dikhawatirkan menghambat pertumbuhan ekonomi mengingat kelancaran distribusi logistik menjadi salah satu indikator perputaran ekonomi," terangnya.
Untuk itu, dia meminta pemerintah melakukan evaluasi dari kebijakan yang diambil sebelumnya.
"Jangan sampai ada pihak yang dirugikan lagi akibat kesalahan kebijakan dan pada akhirnya juga negara merugi, karena pertumbuhan ekonominya tidak tercapai," pungkasnya.