Liputan6.com, Jakarta Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa, menegaskan bahwa pihaknya tidak akan mengalihkan anggaran kementeriannya untuk mendukung pembentukan family office yang tengah diwacanakan oleh Dewan Ekonomi Nasional (DEN).
Purbaya mengaku sudah lama mendengar isu terkait pembentukan family office, namun ia menilai langkah tersebut sebaiknya dijalankan secara mandiri oleh DEN tanpa mengganggu alokasi anggaran kementeriannya.
“Oh, saya udah denger lama isu itu, tapi biar saja. Kalau DEN bisa bangun sendiri, ya bangun saja sendiri. Saya anggarannya nggak akan alihkan ke sana,” kata Purbaya saat ditemui di kantor Pusat DJP, Jakarta Selatan, Senin (13/10/2025).
Ia menambahkan, fokus utama Kementerian Keuangan adalah memastikan setiap anggaran digunakan secara efisien dan tepat sasaran.
“Saya fokus. Kalau kasih anggaran yang tepat, nanti pasti pelaksanaannya tepat waktu, tepat sasaran, dan nggak ada yang bocor,” ujarnya.
Ketika ditanya apakah dirinya sudah memberikan masukan atau pandangan kepada Dewan Ekonomi Nasional terkait family office, Purbaya menjawab dengan santai bahwa ia belum memberikan input apa pun.
“Nggak, kalau mau saya doian lah,” ujarnya.
Purbaya Belum Pahami Konsep Family Office
Lebih lanjut, Purbaya juga mengakui bahwa dirinya belum sepenuhnya memahami konsep family office yang dimaksud, meskipun Ketua DEN disebut kerap menyinggung hal tersebut dalam berbagai kesempatan.
“Saya belum terlalu ngerti konsepnya walaupun Pak Ketua DEN sering bicara, tapi saya nggak pernah lihat. Jadi, saya nggak bisa jawab,” ujarnya.
Penerapan Sistem Family Office
Sebelumnya, Indonesia tengah mempersiapkan diri untuk menjadi pusat investasi para konglomerat dunia dengan menerapkan sistem family office.
Gagasan ini diajukan oleh Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Luhut Binsar Pandjaitan, sebagai upaya untuk menarik kekayaan keluarga super kaya dari berbagai negara. Sistem ini akan menjadi magnet investasi melalui pengelolaan kekayaan berbasis entitas privat.
Dalam perencanaannya, Bali dan Ibu Kota Nusantara (IKN) diproyeksikan menjadi lokasi utama untuk penerapan family office.
AS-China Memanas Lagi, Menkeu Purbaya: Biar Saja Berantem, Indonesia Justru Untung
Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa menilai kebijakan Presiden Amerika Serikat (AS) yang berniat menerapkan tarif impor hingga 100 persen terhadap produk asal China mulai 1 November 2025 bukanlah ancaman bagi Indonesia.
Sebaliknya, langkah tersebut justru membuka peluang bagi produk Tanah Air untuk lebih kompetitif di pasar Negeri Paman Sam.
“Biar saja mereka berantem. Kalau kita enggak ada urusan,” kata Menkeu Purbaya saat ditemui di Pos Bea Cukai Tanjung Priok, Jakarta Utara, Senin (13/10/2025).
Menurutnya, ketika produk China terkena tarif tinggi, otomatis harga jualnya di AS akan naik, sehingga produk Indonesia punya peluang lebih besar untuk bersaing.
"Kalau kita lihat kan, kalau China dikenain tarif 100 persen kan barang kita jadi lebih bersaing di Amerika. Untuk kita untung. Biar aja mereka berantem. Kita untung,” ujarnya.
Meski demikian, Purbaya tak menutup kemungkinan adanya efek lain dari kebijakan tersebut, terutama di pasar keuangan global. Ketegangan dagang antara dua kekuatan ekonomi besar dunia itu berpotensi memicu gejolak sentimen di bursa saham internasional.
“Mungkin ada sentimen negatif di pasar ya gara-gara pasar sana jatuh," kata Menkeu Purbaya.
China Tantang Balik AS
China menyatakan bahwa “kami tidak takut” menghadapi perang dagang yang sudah dilancarkan Amerika Serikat (AS), menyusul ancaman Presiden Donald Trump yang akan mengenakan tarif balasan 100 persen terhadap impor dari Negeri Tirai Bambu.
Juru bicara Kementerian Perdagangan China menuding AS menerapkan standar ganda setelah Trump pada Jumat berjanji akan memberlakukan tarif tambahan 100 persen pada impor. Kebijakan itu muncul sebagai respons atas langkah Beijing yang lebih dulu menerapkan kontrol ekspor terhadap mineral tanah jarang (rare earths).
Ancaman Trump lewat unggahan media sosial langsung mengguncang pasar saham AS pada hari Jumat (10/10/2025). Dalam sehari, nilai ekuitas anjlok dan menghapus sekitar USD 2 triliun dari pasar.