Liputan6.com, Jakarta Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) merupakan salah satu pungutan wajib yang dikenakan pemerintah atas kepemilikan bumi dan/atau bangunan.
Mengutip laman pajak.go.id, Rabu (13/8/2025), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah pajak yang dikenakan atas kepemilikan atau pemanfaatan tanah dan atau bangunan. Pajak Bumi Bangunanadalah pajak pusat, tetapi hampir seluruh realisasi penerimaan PBB diserahkan kepada pemerintah baik provinsi dan kabupaten/kota.
PBB pedesaan dan perkotaan merupakan pajak daerah. Untuk PBB Perkebunan, perhutanan, pertambangan, pertambangan panas bumi, pertambangan mineral lainnya. masih tetap merupakan pajak pusat atau di Ditjen Pajak
Memahami seluk-beluk pajak PBB menjadi krusial bagi setiap wajib pajak.PBB memiliki karakteristik kebendaan, artinya besaran pajak tidak ditentukan oleh kondisi subjek pajak, melainkan oleh kondisi objek itu sendiri. Hal ini mencakup ukuran, lokasi, dan pemanfaatan bumi serta bangunan yang dimiliki. Setiap tahun, wajib pajak memiliki kewajiban untuk membayar PBB yang terutang sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Pajak ini berkontribusi signifikan terhadap pendapatan daerah dan nasional, mendukung pembangunan infrastruktur serta pelayanan publik. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk mengetahui dasar hukum, subjek, objek, hingga mekanisme perhitungan pajak PBB agar dapat memenuhi kewajiban perpajakan dengan benar dan tepat waktu.
Apa Itu Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)?
Pajak Bumi dan Bangunan atau PBB adalah pungutan wajib yang dikenakan pemerintah terhadap bumi dan/atau bangunan. Pungutan ini didasarkan pada keuntungan atau kedudukan sosial ekonomi yang didapatkan oleh individu atau badan yang memiliki hak, menguasai, atau memperoleh manfaat dari bumi dan/atau bangunan tersebut. PBB menjadi salah satu sumber pendapatan penting bagi negara, baik di tingkat pusat maupun daerah.
PBB memiliki sifat kebendaan, yang berarti nilai pajaknya ditentukan oleh kondisi fisik dan karakteristik objek pajak itu sendiri. Faktor-faktor seperti luas tanah, jenis bangunan, lokasi, serta pemanfaatan properti menjadi penentu utama besaran pajak yang harus dibayarkan. Kondisi subjek pajak, seperti status ekonomi atau penghasilan, tidak menjadi pertimbangan utama dalam penentuan besaran PBB.
Definisi ini sejalan dengan pengertian yang disampaikan oleh OnlinePajak, bahwa PBB adalah pungutan atas tanah dan bangunan yang muncul karena adanya keuntungan dan/atau kedudukan sosial ekonomi bagi seseorang atau badan yang memiliki suatu hak atasnya, atau memperoleh manfaat dari padanya. Sifat kebendaan ini juga ditegaskan oleh Bank Mega Syariah, bahwa nominal pajaknya bergantung pada ukuran dan kondisi bangunan itu sendiri.
Dasar Hukum Pajak PBB
Pungutan pajak PBB memiliki landasan hukum yang kuat di Indonesia. Awalnya, PBB didasarkan pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994, yang merupakan perubahan dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan. Regulasi ini menjadi payung hukum utama dalam pelaksanaan pemungutan PBB di seluruh wilayah Indonesia.
Seiring berjalannya waktu, terjadi perubahan signifikan dalam kewenangan pemungutan PBB. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah, kewenangan pemungutan PBB Sektor Pedesaan dan Perkotaan (PBB-P2) dialihkan kepada pemerintah kabupaten/kota. Ini berarti, aturan dan tarif PBB-P2 dapat bervariasi antar daerah, sesuai dengan kebijakan otonomi daerah.
Meskipun demikian, PBB sektor Pertambangan, Perhutanan, dan Perkebunan (PBB-P3) tetap berada di bawah kewenangan pemerintah pusat, yang dalam hal ini diatur oleh Direktorat Jenderal Pajak. Selain itu, tarif PBB-P2 juga diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU HKPD), memberikan kerangka hukum yang lebih komprehensif bagi pengelolaan pajak ini.
Siapa Saja Subjek dan Objek Pajak PBB?
Subjek pajak PBB adalah individu atau badan yang memiliki kewajiban untuk membayar PBB. Mereka adalah pihak yang secara nyata memiliki hak atas bumi, memperoleh manfaat atas bumi, memiliki bangunan, menguasai bangunan, atau memperoleh manfaat atas bangunan. Wajib pajak ini bertanggung jawab untuk melunasi PBB yang terutang setiap tahunnya sesuai dengan ketetapan yang berlaku.
Sementara itu, objek pajak PBB adalah bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh subjek pajak. Objek bumi yang dikenakan PBB meliputi berbagai jenis lahan seperti sawah, ladang, kebun, tanah, perkarangan, hingga tambang. Semua jenis tanah ini, selama memberikan manfaat ekonomi atau sosial, akan dikenakan PBB.
Untuk objek bangunan, cakupannya juga sangat luas. Bangunan yang dikenakan PBB meliputi rumah tinggal, ruko atau bangunan usaha, gedung, tempat perbelanjaan, tempat wisata, jalan tol, kolam renang, gedung bertingkat, pagar mewah, serta tempat penampungan atau kilang minyak, air, dan gas, termasuk pipa minyak dan muara. Ini menunjukkan bahwa hampir semua bentuk properti fisik dapat menjadi objek PBB.
Objek yang Tidak Dikenakan Pajak PBB
Meskipun sebagian besar bumi dan bangunan dikenakan PBB, terdapat beberapa objek yang dikecualikan dari pungutan ini. Pengecualian ini umumnya diberikan kepada properti yang digunakan untuk kepentingan umum, sosial, atau yang tidak bertujuan mencari keuntungan. Salah satu kategori objek non-PBB adalah bumi dan/atau bangunan yang digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum.
Kepentingan umum ini mencakup berbagai bidang seperti ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional, termasuk panti sosial dan situs sejarah, selama tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan. Contohnya adalah masjid, gereja, rumah sakit umum, sekolah negeri, dan museum yang dikelola oleh pemerintah atau yayasan nirlaba. Pengecualian ini bertujuan untuk mendukung kegiatan sosial dan keagamaan tanpa membebani pihak pengelola.
Selain itu, objek lain yang tidak dikenakan PBB meliputi kuburan, peninggalan purbakala, hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, serta tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak. Properti yang digunakan oleh pemerintah pusat dan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan, perwakilan diplomatik dan konsulat (sesuai asas timbal balik), serta badan atau perwakilan lembaga internasional juga dikecualikan. Jalur transportasi seperti rel kereta api, MRT, dan LRT, serta rumah tinggal dengan NJOP tertentu yang ditetapkan Gubernur, juga termasuk dalam kategori objek non-PBB.
Tarif Pajak PBB yang Berlaku
Langkah selanjutnya adalah mengetahui tarif pajak PBB yang akan dikenakan. Secara umum, tarif PBB yang berlaku atas objek pajak adalah 0,5%.
Tarif ini kemudian dikalikan dengan Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) untuk mendapatkan besaran PBB terutang yang harus dibayarkan oleh wajib pajak setiap tahunnya. Besaran ini tercantum dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) PBB yang diterima wajib pajak.
Namun, perlu dicatat tarif PBB-P2, yaitu PBB Sektor Pedesaan dan Perkotaan, dapat bervariasi. Hal ini karena kewenangan pemungutan PBB-P2 telah diserahkan kepada pemerintah kabupaten/kota, yang memungkinkan setiap daerah untuk menetapkan tarifnya sendiri melalui peraturan daerah. Sebagai contoh, di DKI Jakarta, tarif umum PBB-P2 adalah 0,5%, namun ada tarif khusus sebesar 0,25% untuk lahan produksi pangan dan ternak.
Variasi tarif ini mencerminkan otonomi daerah dalam mengelola pendapatan asli daerah dan menyesuaikan kebijakan perpajakan dengan kondisi ekonomi serta sosial di wilayah masing-masing. Oleh karena itu, penting bagi wajib pajak untuk selalu memeriksa peraturan daerah terkait PBB di lokasi properti mereka untuk memastikan besaran tarif yang berlaku dan menghindari kesalahan dalam pembayaran pajak PBB.