Liputan6.com, Jakarta Kementerian Perhubungan (Kemenhub) menyatakan, ketegangan dan perang Iran vs Israel sejauh ini belum sampai mengganggu perdagangan laut di Indonesia dan kawasan Asia Tenggara.
Hal itu dikonfirmasi langsung oleh Direktur Jenderal Perhubungan Laut Kemenhub, Muhammad Masyhud. "Belum, belum (sampai sampai mengganggu)," ujarnya saat ditemui di Kantor Kemenhub, Jakarta, Rabu (18/6/2025).
Menurut dia, konflik Iran vs Israel secara spesifik belum sampai mengganggu sektor perdagangan laut di kawasan Indonesia dan regional Asean, karena kondisi relatif masih normal.
Pengecualian diberikannya untuk sektor penerbangan, namun itu pun belum terjadi di area yang sama.
"Kalau yang dekat-dekat sana aja, paling dia biaya jadi lebih banyak lagi yang dikeluarkan. Cost-cost yang dibutuhkan lebih, karena harus berputar. Kalau di wilayah regional sih belum," kata Masyhud.
Kendati begitu, Kemenhub atas arahan Presiden Prabowo Subianto siap menjaga peraturan internasional dan jalur perdagangan strategis, di tengah eskalasi konflik Iran vs Israel saat ini.
Siap Membantu Jika Dimohonkan
"Tentu kalau ada hal-hal yang dimohonkan kepada kita untuk kemudahan dan lain sebagainya. Saat ini sih itu aja dulu," ucap Masyhud.
Masyhud mengutarakan, dari sisi kebijakan nasional pun sejauh ini belum dimunculkan. Alhasil, Kemenhub masih menunggu instruksi dari Presiden Prabowo Subianto.
"Kalau pak Menteri (Perhubungan) juga saya kira sama lah. Kita juga diminta untuk membantu teman-teman pelaku usaha yang terkait dengan angkutan, untuk diberi kemudahan-kemudahan," tuturnya.
Paksa The Fed Pangkas Suku Bunga Lebih Cepat
Konflik berkepanjangan antara Israel dan Iran mungkin lebih dari sekadar mengguncang pasar energi. Salah satu pernyataan di wall street, konflik Israel Iran dapat mendorong bank sentral Amerika Serikat (AS) atau the Federal Reserve (The Fed) untuk memangkas suku bunga lebih cepat dari yang diharapkan.
"Kenaikan harga minyak yang berkelanjutan dapat menyebabkan the Fed bersikap lebih lunak,” tulis Oxford Economics Chief US Economist Ryan Sweet seperti dikutip dari Yahoo Finance.
Ia menilai, guncangan minyak yang berkepanjangan dapat mengurangi permintaan dan berpotensi meluas ke pasar tenaga kerja yang tangguh.
Hal itu karena secara historis, lonjakan harga minyak yang tiba-tiba cenderung hanya menyebabkan kenaikan inflasi sementara yang biasanya diabaikan oleh The Federal Reserve (The Fed). Namun, dengan ekonomi yang sudah melemah, lonjakan yang terus menerus dapat menimbulkan ancaman lebih besar terhadap pertumbuhan dan lapangan kerja daripada inflasi itu sendiri.
"Ekonomi telah melambat dan rentan terhadap hal lain yang salah, termasuk kenaikan harga minyak yang tiba-tiba dan terus menerus,” ujar Sweet.
“Jika The Fed melihat pukulan terhadap ekonomi dan pasar tenaga kerja lebih besar daripada dorongan sementara terhadap inflasi, bank sentral dapat memberi sinyal kalau mereka terbuka untuk memangkas suku bunga lebih cepat,” ia menambahkan.